Isu perempuan dan agama bergerak dinamis di Indonesia. Sebagian mengarah ke pemahaman baru, sebagian lagi berupaya mengembalikannya ke masa lalu.
Profesi komika bagi Sakdiyah Makruf bukan pilihan mudah. Bahkan dari keluarganya sendiri, dia menerima penolakan. Namun, Sakdiyah menyadari konsekuensi itu. Apa yang dia tempuh, adalah bagian dari gerak wacana perempuan dalam Islam.
Sakdiyah mencatat tiga fenomena yang melingkupi wacana perempuan dan Islam belakangan ini. Pertama adalah meningkatnya gairah keberagamaan. Sayangnya, di satu sisi gairah ini memunculkan narasi yang justru kembali meminggirkan dan mendiskriminasi perempuan. Ada upaya mengembalikan perempuan pada peran-peran terbatasnya di masa lalu. Tidak mengherankan, jika muncul pertanyaan atas pilihan Sakdiyah menjalani profesinya.
Fenomena kedua adalah komodifikasi, di mana isu perempuan dan agama dimanfaatkan oleh bisnis, dalam kacamata yang juga mengembalikan perempuan pada posisi marjinal. Sakdiyah memberi contoh, bagaimana produk sabun pembersih turut mengkampanyekan perempuan sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam urusan domestik. Komodifikasi dilakukan begitu jauh, hingga kampanye bahwa produk ini menjadi kunci terbentuknya keluarga sakinah, dengan perempuan sebagai aktor utamanya.
“Kemudian menggunakan isu rumah tangga sakinah, istri sholehah dan sebagainya, yang keseluruhanya tentu saja dibebankan kepada perempuan, untuk selalu putih, cerah, keset, erat, apalah itu, kencang dan semuanya itu. Itu yang kita hadapi,” kata Sakdiyah.
Fenomena ketiga, tambahnya, adalah dampak cara pandang ke perempuan muslimah dan apa yang terjadi pada mereka. Sakdiyah sendiri mengaku, menanggung rasa malu dan bersalah oleh sudut pandang yang meminggirkan kaum perempuan. Perlu kajian lebih jauh dari berbagai sisi, terkait fenomena itu.
Sakdiyah berbicara sambil memegang buku Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah!. Buku karya Faqihuddin Abdul Kodir ini secara resmi diluncurkan pada 1 September 2021. Komika itu menilai, buku tersebut memberi harapan agar bisa menjadi rujukan tentang bagaimana isu perempuan dan Islam. Tantangan di tengah pertentangan sudut pandang saat ini adalah bagaimana membuat isi buku itu bisa dikemas lebih ringan.
“Bagaimana ini bisa menjadi kudapan yamg juga bisa dikonsumsi dan didistribusi secara mudah dan cepat, sebagaimana gagasan-gagasan yang mendiskriminasi perempuan terdistribusi secara mudah dan cepat,” ujarnya.
Pemahaman Berbalik Arah
Peluncuran buku yang diselenggarakan Afkaruna.id bekerja dan Mubadalah.id ini juga menghadirkan pemikir muda muslim, Ulil Abshar Abdalla.
Ulil memotret dua fenomena yang terjadi. Di satu sisi, muslim tradisional yang ada di pedesaan telah menafsirkan ulang posisi perempuan dalam Islam. Muslim tradisional memberi tempat sepenuhnya kepada perempuan untuk berkiprah, dan berperan dalam posisi tinggi di masyarakat. Namun Ulil juga melihat ada perubahan pandangan di kalangan lain, yang dia sebut sebagai muslim kota. Sebagian dari kelompok ini justru bergerak sebaliknya, yaitu justru mulai mempercayai kembali posisi perempuan di masa lalu, yang oleh kalangan tradisional sudah ditinggalkan.
“Mereka mengenalkan kembali konsep perempuan sebagai fitnah. Ini yang menurut saya pentingnya buku ini, karena muslim kota ini muslim yang aktif di dalam komunikasi publik, di dalam media sosial. Artinya, pendapat mereka itu potensial untuk menyebar. Buku, menurut saya, adalah cara terbaik untuk mengoreksi pandangan semacam ini,” ujar Ulil.
Buku tulisan Faqihuddin Abdul Kodir ini dinilai Ulil berperan penting sekali karena dapat mengoreksi pemahaman di masyarakat, bahwa perempuan itu sumber fitnah. Pemahaman masa lalu yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang paling disalahkan, jika terjadi sesuatu.
“Yang patut dipersalahkan adalah perempuan karena tubuh perempuan itu adalah sumber fitnah. Rambutnya adalah sumber fitnah, suaranya adalah sumber fitnah, sehingga terus diproteksi, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan sosial,” kata Ulil.
Aktivis muslimah, Lies Marcoes yang juga memberi pengantar buku ini memberi apresiasi karena keberanian penulis menumpahkan pemikirannya. Di era perebutan wacana ini, menurutnya, seorang cendekiawan tidak cukup sekedar berpikir, tetapi harus berani menuliskannya.
“Dan menulis itu baru berarti jika jelas keberpihakannya. Manusia ada kalau berpikir, dan berpikir itu tidak cukup jika tidak ada pembelaan pada mereka yang tertindas,” kata Lies Marcoes.
Dua Prinsip Utama
Penulis buku ini, Faqihuddin Abdul Kodir menyebut dua prinsip yang bisa dipegang dalam memahami pesan-pesan agama, khususnya melalui hadist. Keduanya adalah rahmatan lilalamin atau berkah untuk seluruh alam, dan akhlak yang baik. Jika ada hadist, misalnya, yang hanya menjadi rahmat untuk satu kelompok saja, misalnya hanya untuk laki-laki, maka kajian lebih dalam harus dilakukan. Ajaran agama, kata Faqih, secara vertikal harus membuat manusia semakin dekat dengan Tuhan, dan secara horisontal makin dekat dengan seluruh umat manusia.
“Kalau tidak demikian, maka yang harus dicurigai adalah kepala kita, cara pandang kita, cara memaknai kita. Buku ini menemani, bagiamana menemukan makna yang demikian dalam hadist-hadist yang kadung tersebar sedemikian rupa, sebagai pondasi perilaku yang sesungguhnya menyalahi Islam, karena diskriminatif dan merendahkan perempuan,” ujar Faqih dalam bedah buku tersebut, Senin (13/9), yang diselenggarakan IAIN Metro, Lampung.
Fitnah dalam konteksi ini dimaknai sebagai cobaan atau godaan. Karena tidak dinilai sebagai satu-satunya sumber fitnah, maka perempuan tidak bisa diposisikan sebagai makhluk penuh goda yang selalu berpotensi mendatangkan dosa. Tubuh perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi menjadi godaan, begitupula suaranya.
Karena manusia adalah ciptaan yang terbaik, kata Faqih, maka ketika ada pandangan yang merendahkan perempuan, sesungguhnya itu merendahkan ciptaan Tuhan. Melalui buku ini, Faqih juga mengajak pembaca menerapkan sudut pandang lebih luas ketika menemukan hadist-hadist tertentu. Misalnya, terkait tanggung jawab di dalam rumah tangga. Tidak dapat dijadikan rujukan, bahwa perempuan memiliki seluruh beban itu.
Menerapkan Tafsir Kesetaraan
Metode semacam ini disebut sebagai mubadalah, yaitu tafsir yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan yang setara.
Dr. Ahmad Zumaro, MA, dosen Hadits di IAIN Metro, Lampung, dalam bedah buku ini mengurai sejumlah konteks yang diterapkan dalam mubadalah. Terkait kepempimpinan perempuan misalnya, konteks sejarah dapat digunakan karena tercatat bahwa Ratu Bilqis adalah pemimpin kerajaan Saba yang dikisahkan penduduknya bahagia.
Konteks sosiologi juga dapat diterapkan, misalnya untuk memahami mengapa ada larangan bagi perempuan untuk bepergian jauh di masa lalu tanpa dikawal mahram atau keluarganya. Ketika itu, perintah agar perempuan bepergian hanya jika ditemani adalah untuk menjaga keselamatannya.
“Wajar saja karena zaman dulu, orang pergi naik onta, dalam keadaan gelap, perjalanan jauh. Maka diperlukan mahram. Tetapi kalau sudah aman seperti saat ini, masyarakat ramai, kendaraan tidak pakai onta, polisi di mana-mana, sudah bisa dikontekstualisasikan lagi hadist ini,” kata Ahmad.
Selain sejarah dan sosiologi, ada juga konteks psikologis yang bisa diterapkan misalnya terkait hadist seputar hubungan suami dan istri. Isu khitan bagi perempuan bisa didekati dengan konteks kesehatan. Sedangkan konteks antropologi dapat diterapkan, misalnya untuk mengkaji hukum akikah bagi anak perempuan dan laki-laki. Konteks bahasa juga penting, untuk memahami istilah-istilah yang dipakai, misalnya soal bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.
“Makanya agar tidak diperlakukan dengan kasar, dengan kejam, karena bengkok kalau dikasari akan patah,” tambah Ahmad.
Ahmad menambahkan, hadist yang disampaikan Nabi lahir bukan dari ruang kosong, tetapi dilingkupi oleh kondisi sosial ketika itu. Karena itulah, dibutuhkan interpretasi.
Praktik Tafsir Mubadalah
Dalam praktiknya, tafsir mubadalah memberi makna besar bagi perempuan untuk kesetaraan hak dalam kehidupan. Ketua Komnas Perempuan 2010-2014, Yuniyanti Chuzaifah yang turut berbicara membedah buku ini memberi sejumlah contoh.
Misalnya, terkait pemahaman apakah perempuan bisa bekerja di luar rumah atau tidak. Pengalamannya sebagai aktivis perempuan membuktikan, tanpa sumber nafkah mandiri, perempuan akan sangat rentan.
“Perempuan yang secara ekonomi dependent atau bergantung pada suami, maka mereka adalah orang-orang yang paling rentan menjadi korban kekerasan dan sulit untuk keluar dari persoalan,” kata Yuniyanti.
Dia menambahkan, seorang istri yang tergantung secara ekonomi pada suaminya, tidak akan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan. Misalnya untuk memutuskan bercerai, jika rumah tangga mereka bermasalah. Yuniyanti bahkan mengatakan, pada keluarga di mana hanya laki-laki yang mencari nafkah utama, maka mereka sebetulnya sedang merapuhkan keluarga itu sendiri.
Penafsiran soal perempuan yang mandiri secara ekonomi, tidak perlu menjadi perdebatan, karena sudah ada contoh nyata di jaman Nabi. Yuniyanti menyebut, fakta bahwa Khadijah, istri Nabi adalah seorang pengusaha membuktikan bahwa perempuan aktif sebagai insan ekonomi sudah memiliki jejak kuat dalam tradisi Islam.
Tafsir lain yang perlu kontekstualisasi, adalah anjuran untuk menghormati ibu, yang diulang hingga tiga kali. Ibu dalam konteks ini, seharusya diposisikan sebagai seluruh perempuan, baik itu ibu, istri maupun anak perempuan.
“Karena dalam catatan kami, seorang laki-laki bisa sangat hormat pada ibunya, tumduk, takluk, cium kaki, tetapi dia bisa pukul istrinya, dia bisa semena-mena pada istri, dia bisa melakukan kekerasan pada istrinya,” kata Yuniyanti.
Dalam konteks penghormatan kepada perempuan ini, kata ibu bagi seorang suami juga bisa dimaknai sebagai ibu dari anak-anaknya, atau tidak lain adalah istrinya sendiri. [ns/ab]