Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) Polri menduga aktvitas Jamaah Islamiyah (JI) menurun setelah serangkaian penangkapan terhadap tokoh utamanya pada beberapa waktu terakhir. Meski begitu, upaya menghapus sel gerakannya tidak berhenti.
Klaim bahwa JI telah mengalami pelemahan disampaikan Kombes Pol MD Shodiq, Direktur Identifikasi dan Sosialisasi, Densus 88 Anti Teror Polri. Dia berbicara dalam diskusi "Mengenal Al Jamaah Al Islamiyah, Dulu, Kini dan Masa Mendatang," Selasa (12/10).
“Setelah puncaknya kemarin kita lakukan penegakan hukum terhadap Abu Rusdan, salah satu tokoh dan figur di kelompok JI, secara umum peta JI sudah down. Artinya tokoh-tokohnya sudah kita amankan,” kata Shodiq dalam diskusi yang diselenggarakan Program Studi Kajian Terorisme, Universitas Indonesia.
Abu Rusdan ditangkap di Bekasi pada 10 September 2021 bersama tiga anggota JI lainnya. Abu Rusdan pernah ditahan pada 2003-2006 karena terbukti melindungi salah satu pelaku Bom Bali, Ali Ghufron. Setelah bebas, Abu Rusdan terus melakukan aktivitas ceramah melalui media sosial dan membangun pengikut baru.
JI Terus Bergerak
Shodiq menduga, saat ini JI setidaknya memiliki anggota sekitar 6.000-7.000 orang di seluruh Indonesia. Mereka masih menerapkan apa yang disebut sebagai Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUP JI), meski pemerintah sudah menetapkan JI sebagai organisasi terlarang pada 2007.
“Sejak adanya kelompok JI yang melakukan teror di Indonesia, sampai hari ini kita sudah menangkap dan memproses hukum sebanyak 876 orang dari kelompok JI,” tambah Shodiq.
Kelompok JI menyumbang jumlah paling besar penangkapan dalam rentang sejak awal 2000 hingga sekarang. Menurut data Densus 88 yang dipaparkan Shodiq, total telah ada 2.914 anggota gerakan sejenis yang dikenakan penegakan hukum. Jumlah tersebut datang dari seluruh kelompok yang tumbuh di Indonesia.
JI adalah organisasi dengan anggota yang tertangkap paling besar. Selain itu ada juga penangkapan terhadap anggota kelompok NII, yang belum berbaiat ke siapa pun tetapi langsung bergabung menjalankan kegiatan teror. Ada pula yang lahir dari kelompok MMI, JAT, JAD, Hazmi, kelompok Abu Uswah, MIT, MIB, MAT, dan JAK. Kemudian ada pula kelompok Khatib Aliman, Fikrah Abu Hamzah, dan Taliban Malayi, yang 42 anggotanya ditangkap pasca peledakan bom masjid di Cirebon.
“Salah satu faktor JI masih hidup dan berjalannya organisasi ini, yang pertama adalah dari sumber pendanaan,” kata Shodiq.
Namun, Densus 88 telah menggarap sektor pendanaan ini dengan melakukan upaya penangkapan terhadap segala tindak pengumpulan dana bagi kegiatan teror. Shodiq mengakui, yang masih sulit untuk ditangani adalah regenerasi.
“Kelompok JI ada semacam sekolahan ya, di seluruh Indonesia ini ada kurang 67 kalau enggak salah. Itu sumber-sumber SDM-nya ada di sana. Untuk JI, sekarang kita tahu sebelum melakukan jihad global, dia melakukan kegiatan pelatihan di sasana-sasana yang dibentuk, dan 10 besar terbaik akan dikirim untuk jihad global ke Syria, Afghanistan dan sebagainya,” tambah Shodiq.
Kemajuan berarti dilakukan Indonesia dengan pengesahan UU 5/2018, yang memungkinkan Densus 88 bertindak tanpa menunggu pelaksanaan aksi. Artinya, para pelaku terorisme ini dapat dikenakan hukum sejak mereka terbukti melakukan perencanaan.
Pendekatan Kemanusiaan
Dosen Program Studi Kajian Terorisme UI, Dr Amanah Nurish, menyarankan pemerintah untuk menempuh cara lebih manusiawi dalam memperlakukan para terpidana kasus terorisme. Dia mengaku melihat sendiri bagaimana istri dan anak terpidana di Sulawesi Tengah tidak dapat bertemu suami atau ayah mereka yang tengah ditahan.
“Saya kira negara tidak perlu berlebihan untuk membatasi gerak pertemuan itu. Mungkin memang untuk alasan keamanan, keselamatan, dan memutus jaringan,” ujarnya.
Namun, lanjut Amanah, dalam hal-hal kecil misalnya dalam konteks gender, sosial kebudayaan, dalam kasus ini di Sulawesi, hal tersebut dianggap agak rentan.
Amana, yang melakukan penelitian di Sulawesi Tengah, khawatir kemarahan-kemarahan kecil di lingkungan keluarga pelaku teror ini akan membesar. Bukan tidak mungkin kondisi itu mendorong reintegrasi antara anggota JI dengan MIT dan JAD.
“Orang gunung bisa saja turun dan bersatu dengan mereka yang ada di Sigi dan Poso, apabila negara tidak sangat peka memperlakukan JI pasca Taliban ini,” tambahnya.
Jika negara absen dari hal-hal sepele semacam itu, menurut Amanah, akan muncul potensi ancaman besar ke depannya. Bagaimanapun, kelompok ini memiliki modal yang cukup untuk terus berkembang.
“Saya kira negara perlu sungguh berhati-hati memperlakukan para keluarga napi terorisme, terutama para istri-istrinya, yang ternyata mereka juga sangat powerful di dalam gerakan ini,” ujarnya lagi.
Dalam sudut pandang korban, upaya pendekatan manusiawi ini teryata juga terbukti efektif. Pengalaman ini disampaikan Sudirman, dari Yayasan Penyintas Indonesia. Sudirman adalah mantan petugas keamanan di Kedutaan Australia yang menjadi korban ledakan bom pada 2004. Dia kehilangan mata kirinya, mengalami cacat di tangan, dan masih harus mengonsumsi obat-obatan sampai saat ini.
Sudirman menilai perlu pendekatan lebih dari hati ke hati untuk mencegah pelaku teror kembali menjalankan aksinya. Salah satu yang dia lakukan adalah menemui para terpidana dan berbagi kisah tentang apa yang harus dihadapi setelah peristiwa tragis itu.
“Pada saat kami bercerita bagaimana dampak bom itu, cacat yang kami alami, kami jelaskan bagaimana kehidupan keluarga kami, mayoritas mereka menangis. Mereka seakan-akan tidak pernah berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu membuat dampak begitu dahsyat, dan mayoritas adalah umat Islam sendiri,” papar Sudirman.
Karena itulah, narasi korban dinilai kuat mencegah tindakan-tindakan terorisme ke depan. Sudirman beralasan, korban memiliki pendekatan dari hati.
Pengamat terorisme Noor Huda Ismail Ph.D menyebut pendekatan yang perlu dilakukan serupa teknik akupuntur. Satu sentuhan kecil di titik yang tepat lebih berdampak bagi upaya penanggulangan terorisme dibanding upaya besar yang tidak fokus. Narasi emosi, seperti yang dipaparkan Sudirman, dinilai Noor Huda adalah langkah tepat.
“Bukan pakai pendekatan ala Barat yang harus formal, di hotel berbintang, bertepuk tangan, ada sambutan. Duitnya habis untuk penginapan dan biaya perjalanan. Lebih baik seperti akupuntur, spesifik dan targeted, itu saya kira akan lebih kena,” kata Noor Huda. [ns/ah]