Anggota parlemen Inggris mencecar Facebook hari Kamis (29/10) terkait cara raksasa teknologi itu menanggapi isu keamanan online sementara negara-negara di Eropa berupaya mengendalikan perusahaan-perusahaan media sosial.
Antigone Davis, kepala keamanan global Facebook, membela cara perusahaannya menangani riset internal tentang berbahayanya Instagram bagi kalangan remaja, ketika ditanyai para legislator.
Davis mengatakan, Facebook pada dasarnya mendukung Inggris dalam pembuatan undang-undang keamanan dan tertarik pada regulasi yang dapat memberi pejabat publik kemampuan untuk meminta pertanggungjawaban perusahaannya.
Sidang itu digelar pada minggu yang sama dengan sidang panel Senat AS yang mencecar YouTube, TikTok dan Snapchat.
Perusahaan-perusahaan itu memberikan sedikit komitmen terhadap pembuatan undang-undang AS yang bertujuan memperkuat perlindungan anak dari bahaya online, yang menurut anggota Kongres berkisar dari gangguan makan, konten yang jelas-jelas seksual, hingga materi yang mempromosikan obat-obatan yang adiktif.
Pelapor Facebook, Frances Haugen, juga tampil di hadapan komite parlemen Inggris pekan ini. Ia menyampaikan kepada anggota parlemen bahwa sistem Facebook memperburuk sentimen kebencian di dunia maya dan bahwa perusahaan itu tidak berbuat banyak untuk memperbaiki masalah itu.
Ia mengatakan, semakin sedikit waktu yang tersisa untuk mengatur perusahaan media sosial yang menggunakan sistem kecerdasan buatan (AI) untuk menentukan konten apa yang dilihat pengguna.
Haugen adalah mantan ilmuwan data Facebook, yang menyalin dokumen-dokumen riset internal perusahaan itu dan memberikannya kepada Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) AS.
Dokumen itu juga diberikan kepada sejumlah media massa, termasuk Associated Press, yang menerbitkan sejumlah berita tentang bagaimana Facebook lebih memprioritaskan keuntungan perusahaan ketimbang keamanan dan menyembunyikan risetnya sendiri dari para investor dan masyarakat umum.
RUU keamanan online Inggris mengatur agar pihak regulator memastikan perusahaan teknologi mematuhi aturan yang mengharuskan mereka menghapus konten berbahaya atau merugikan. Kalau tidak, mereka harus siap menerima sanksi denda sampai 10% dari pendapatan global tahunan mereka.
Uni Eropa juga sedang menyusun peraturan digital serupa. [rd/ka]