Badan Pangan PBB, Senin (8/11), menyatakan jumlah orang yang di ambang kelaparan di 43 negara telah meningkat menjadi 45 juta, karena kelaparan melonjak akut di berbagai penjuru dunia.
Lonjakan dari 42 juta orang pada awal tahun ini kebanyakan berasal dari sebuah evaluasi ketahanan pangan yang mendapati 3 juta orang lagi menghadapi kelaparan di Afghanistan, kata Program Pangan Dunia (WFP).
“Puluhan juta orang menghadapi jurang kelaparan. Kita mengalami konflik, perubahan iklim dan COVID-19 yang meningkatkan jumlah mereka yang kelaparan akut,” kata Direktur Eksekutif WFP David Beasley.
“Dan data terbaru menunjukkan sekarang ada lebih dari 45 juta orang yang mengarah ke ambang kelaparan,” katanya setelah kunjungan ke Afghanistan, di mana WFP meningkatkan bantuan untuk hampir 23 juta orang.
“Harga bahan bakar naik, harga makanan membubung, pupuk semakin mahal, dan semua ini memicu krisis baru seperti yang terungkap sekarang di Afghanistan, serta keadaan darurat yang telah lama berlangsung di Yaman dan Suriah,” lanjutnya.
WFP menambahkan biaya untuk mencegah kelaparan global kini mencapai 7 miliar dolar, naik dari 6,6 miliar dolar pada awal tahun ini. Tetapi WFP memperingatkan bahwa aliran dana tradisional telah banyak sekali digunakan.
Keluarga-keluarga yang mengalami kerawanan pangan akut “dipaksa untuk membuat pilihan-pilihan yang menghancurkan,” menikahkan anak-anak lebih cepat lagi, menarik keluar anak-anak dari sekolah atau memberi mereka makan belalang, kaktus atau tumbuhan liar.
“Sementara itu, berbagai laporan media dari Afghanistan menunjukkan keluarga-keluarga yang kabarnya terpaksa menjual anak-anak mereka sebagai upaya nekad untuk bertahan hidup,” kata WFP.
Kekeringan berulang kali di Afghanistan, disertai dengan krisis ekonomi, memaksa keluarga dalam keadaan sangat tertekan, sementara 12,4 juta orang di Suriah tidak tahu dari mana makanan mereka akan berasal. Ini merupakan angka terbesar dalam konflik selama satu dekade ini.
Peningkatan kasus kelaparan akut juga terlihat di Ethiopia, Haiti, Somalia, Angola, Kenya dan Burundi, kata lembaga PBB berbasis di Roma itu. [uh/ab]