Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan pemerintah akan segera mendatangkan obat antivirus COVID-19 Molnupiravir buatan Merck dan Paxlovid buatan Pfizer untuk mengantisipasi terjadinya ledakan kasus menjelang liburan Natal dan Tahun Baru.
“Untuk pengadaan Molnupiravir dari Merck maupun obat dari Pfizer atas arahan Pak Menko kita lakukan dua strategi," ungkap Budi usai Rapat Terbatas dengan Presiden Joko Widodo, di Jakarta, Senin (8/11).
Strategi pertama, kata Budi, dalam jangka pendek pemerintah ingin mendatangkan obat-obatan tersebut dengan cepat melalui impor agar sebelum Natal dan tahun baru stok obat tersebut sudah tersedia.
"Sehingga kalau terjadi, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di Nataru kita sudah siap obat,” tukasnya.
Sementara untuk strategi jangka menengah, Budi menegaskan pihaknya sampai saat ini masih dalam tahap penjajakan terkait perusahaan mana yang akan dipilih untuk mendatangkan stok lanjutan dari obat antivirus COVID-19. Budi menekankan, perusahaan yang akan dipilih nanti merupakan perusahaan yang mau berinvestasi dengan membangun pabrik obatnya di Tanah Air.
“Jadi jangka menengahnya kita akan memilih nanti perusahaan yang kita impor obat jadinya, tapi mereka berkomitmen untuk membangun pabrik di Indonesia, bisa dia investasi langsung, atau kerja sama dengan perusahaan BUMN atau swasta yang penting dia bangun pabriknya di Indonesia," katanya.
Dengan demikian, lanjut Budi, ketahanan dari obat-obatan ini bisa terjadi.
"Minggu ini, Pak Menko sendiri akan memimpin diskusinya dengan kedua perusahaan tersebut, mudah-mudahan bisa diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah cukup agresif untuk menarik perusahaan produsen obat antivirus COVID-19 ini untuk membangun pabriknya di Indonesia. Ia pun optimis hal ini akan terwujud dalam waktu dekat. Menurutnya, negara sebesar Indonesia harus bisa berperan sebagai produsen obat antivirus COVID-19 dengan membangun pabriknya di negeri sendiri.
“Negara sebesar ini jangan menjadi negara pengimportir saja. Kita sudah mengalami kemarin kasus kita naik, bagaimana sakitnya kita tidak bisa mendapatkan paracetamol karena India di-blocked, sakitnya bagaimana kita sudah tanda tangan kontrak untuk mendapatkan AstraZeneca, ditahan oleh India," ungkap Luhut.
"Jadi pengalaman-pengalaman pahit ini harus kita selesaikan. Oleh karena itu, saya mengimbau importir yang hidup dengan impor saja sudahlah Anda pikir sekarang untuk investasi dengan membuat industri di dalam negeri," tukasnya.
Vaksin COVID-19 Lebih Penting
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan pengadaan kedua obat antivirus COVID-19 tentu menjadi kabar menggembirakan sehingga intervensi di sisi hulu dan treatment menjadi lebih baik. Namun, ia menggarisbawahi bahwa obat tersebut bukanlah strategi utama dalam mengendalikan pandemi. Apalagi, obat antivirus COVID-19 tersebut akan efektif kalau diberikan pada fase awal, sehingga bila strategi deteksi dini 3T lemah, maka pemberian obat tersebut akan sia-sia.
“Kalau engga sakit, ya engga bisa minum obat itu dan itu sudah terlambat dari sisi kesehatan masyarakat yang harus nunggu sakit terus minum obat," katanya.
Artinya, tegas Dicky, vaksin menjadi unsur yang lebih dominan dan lebih bisa diupayakan sebelum pemerintah mendapatkan obat tersebut.
"Dan ingat obat itu juga ada kontra indikasi, semua obat ada kontra indikasi, ini salah satu kelemahan obat,” ungkap Dicky kepada VOA.
Maka dari itu, ia menyarankan kepada pemerintah jika ingin menjalin kerja sama dengan membangun pabrik, akan lebih baik jika membangun pabrik vaksin COVID-19 terlebih dahulu. Menurutnya, dalam strategi pengendalian pandemi selain penerapan 3T dan penegakan protokol kesehatan, vaksin sangat penting dibandingkan dengan obat antivirus.
“Kalau mau ada kerja sama ya kerja sama vaksin lebih dominan dan penting, karena ini bukan hanya untuk kebutuhan saat ini, namun juga ke depan," katanya.
"Dan dampaknya vaksin ini di hulu, mencegah orang terinfeksi, walaupun tetap akan ada kasus, tapi dia akan kecil kemungkinan untuk parah, termasuk menderita long covid. Ini makanya pemilihannya tentu harus didasari strategi kesehatan masyarakat dalam hal ini preventif dan promotif, bukan kuratif,” tuturnya.
Tren Kenaikan Kasus
Dalam kesempatan ini, Luhut mengatakan telah terjadi tren kenaikan kasus COVID-19 di 43 dari 128 kabupaten/kota di Jawa dan Bali dalam tujuh hari terakhir.
“Kami akan segera mengumpulkan 43 kabupaten/kota di Jawa dan Bali tersebut, untuk segera mengidentifikasi dan melakukan intervensi demi menahan tren kenaikan ini. Dan di Jakarta, di utara, timur, barat, dan selatan itu hampir semua trennya naik. Jadi saya mohon kita semua hati-hati melihat ini,” ungkap Luhut.
Ia menjelaskan, kenaikan kasus ini salah satunya akibat kendornya penegakan protokol kesehatan oleh masyarakat seiring dengan relaksasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penerapan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) per level.
“Namun di lain tempat juga ditemukan beberapa pelanggaran di lapangan utamanya terjadi pada beberapa restoran dan beach club yang ada di wilayah Bali. Tadi Presiden sudah memerintahkan bahwa tempat yang akan menjadi host G20 harus dari sekarang mulai kita sterilkan. Juga tidak ada physical distancing dan tidak ada enforcement dari pihak pengelola untuk menerapkan prokes selama beraktivitas. Tidak ada paksaan untuk scan QR code PeduliLindungi sehingga angka tidak merepresentasikan kondisi lapangan,” jelasnya.
Selain di Bali, pelanggaran protokol kesehatan juga ditemukan di Bandung. Maka dari itu, ia meminta kepada pemerintah daerah setempat untuk segera melakukan intervensi untuk mencegah terjadinya gelombang ketiga. Ia mengingatkan, jika penegakan protokol kesehatan dari masyarakat semakin lemah dan kasus kembali naik, bukan tidak mungkin pengetatan aktivitas akan diterapkan kembali.
“Sekali lagi saya ingatkan jangan ada pikiran kita tidak konsisten. Strategi kita, taktik kita akan selalu bermuara kepada bagaimana perilaku daripada COVID-19. Sekarang sudah ada dari Inggris masuk ke Malaysia itu varian delta AY.4.2 dan ini menurut saya harus kita waspadai," katanya.
"Jadi bukan tidak mungkin nanti kalau orang yang datang dan keluar bisa lakukan mungkin karantinanya naik tujuh hari. Ini tidak tertutup kemungkinannya. Jadi nanti jangan dikatakan bolak-balik, tidak sama sekali. Kita sangat hati-hati di sini, oleh karena itu proses pengambilan keputusan itu sekarang sudah science and art,” jelas Luhut.
Ditambahkan Budi Gunadi bahwa sampai saat ini sudah terdapat kenaikan kasus COVID-19 di 155 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Meski begitu, kenaikannya masih sedikit dan terkontrol.
“Kami atas arahan Presiden diminta agar segera memperhatikan kabupaten/kota terutama di lima provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, itu diminta oleh Bapak Presiden untuk diperhatikan dan kalau ada kenaikan yang lebih cepat itu harus segera ditangani,” ungkap Budi.
Presiden Joko Widodo, ujar Budi, mengimbau agar semua pihak harus tetap berhati-hati dan waspada khususnya dengan varian delta AY.4.2 yang sudah terdeteksi di Malaysia. Varian tersebut, katanya telah menyebabkan kenaikan kasus yang cukup tinggi di negara-negara di Eropa.
“Mengenai progres deteksi varian AY.4.2 sudah sampai di Malaysia, tapi belum atau tidak terdeteksi di Indonesia sampai sekarang. Dan kita melakukan whole genome sequencing (WGS) antara 1.500-1.800 sampel per bulan, dan kita sampai sekarang belum lihat," katanya.
Pemerintah, lanjut Budi, tetap menjaga perbatasan dan meningkatkan penjagaan untuk dapat menahan potensi masuknya varian baru ini ke Indonesia. [gi/ab]