Saat memberi makan bayi perempuannya, Amanda Harrison terkadang diliputi rasa emosi dan harus menghapus air mata dengan penuh syukur. Ia beruntung berada di tempat ia kini berada dan dapat menggendong bayinya.
Harrison hamil 29 minggu dan belum divaksinasi ketika jatuh sakit terinfeksi COVID-19 pada Agustus 2021. Gejalanya ringan pada awalnya, akan tetapi tiba-tiba ia merasa seperti tidak bisa bernapas. Tinggal di Phenix City, Alabama, ia diintubasi dan diterbangkan ke rumah sakit di Birmingham, di mana dokter menolong kelahiran bayi Lake, dua bulan lebih awal dan merawat Harrison dengan mesin pendukung pernafasan untuk dapat bertahan hidup.
Kyndal Nipper, yang berasal dari luar Columbus, Georgia, hanya mengalami serangan singkat dari virus corona namun hasilnya lebih tragis. Beberapa minggu sebelum melahirkan pada Juli lalu, Kyndal kehilangan bayi laki-laki yang ia dan suaminya rencanakan untuk diberi nama Jack.
Sekarang Harrison dan Nipper bekerja bersama dengan sejumlah dokter untuk mendesak perempuan hamil mendapatkan vaksinasi COVID-19 agar dapat melindungi diri sendiri dan bayi mereka. Advokasi mereka lakukan di tengah peningkatan yang tajam pada jumlah perempuan hamil yang sakit parah. Sebanyak 22 perempuan hamil meninggal karena COVID-19 pada Agustus 2021, rekor dalam satu bulan.
"Kami punya komitmen akan melakukan apa pun dengan segala kekuatan untuk mendidik dan mengadvokasi anak laki-laki kami, karena tidak ada keluarga lain yang harus menempuh kejadian seperti ini," kata Nipper.
Sejak pandemi merebak, para pejabat kesehatan melaporkan lebih dari 125.000 infeksi pada ibu hamil dengan sedikitnya 161 kematian akibat COVID-19 di AS, menurut CDC, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS. Selama beberapa bulan terakhir, rumah-rumah sakit dan sejumlah dokter yang berada di zona merah virus corona telah melaporkan peningkatan tajam dalam jumlah perempuan hamil yang menderita sakit parah.
Dengan hanya 31 persen perempuan hamil yang divaksinasi secara nasional, CDC mengeluarkan peringatan mendesak pada 29 September lalu yang merekomendasikan agar mereka mendapatkan suntikan vaksin virus corona. Badan itu memperingatkan bahwa COVID-19 dalam kehamilan dapat menyebabkan kelahiran prematur dan dampak buruk lainnya. Selain itu, kelahiran mati juga telah dilaporkan.
Dr Akila Subramaniam, asisten profesor pada divisi kedokteran ibu dan janin dari Universitas Alabama di Birmingham, mengatakan rumah sakit mengamati peningkatan signifikan pada jumlah perempuan hamil yang sakit kritis selama Juli dan Agustus 2021. Ia mengungkapkan sebuah penelitian setempat menemukan varian delta COVID-19 terkait dengan tingkat penyakit parah yang bertambah pada perempuan hamil dan tingkat kelahiran prematur yang semakin bertambah.
"Apakah hanya karena varian delta lebih menular atau varian itu lebih ganas? Menurut saya, kita tidak tahu pasti jawabannya," katanya.
Ketika vaksin COVID-19 tersedia bagi perempuan hamil di negara bagian mereka pada musim semi tahun ini, baik Harrison, usia 36 tahun dan Nipper berusia 29 tahun, memutuskan untuk menunggu. Suntikan vaksin belum mendapat persetujuan akhir dari Food and Drug Administration (FDA) dan perempuan hamil tidak termasuk dalam penelitian yang mengarah pada otorisasi darurat. Jadi, panduan awal tidak sepenuhnya merekomendasikan vaksinasi untuk mereka. Vaksin buatan Pfizer mendapat persetujuan resmi pada Agustus 2021.
Kedua perempuan itu masing-masing tinggal di Alabama dan Georgia, daerah yang menderita akibat varian delta pada musim panas tahun ini.
Harrison mengalami gejala yang parah, sementara Nipper lebih ringan. Ketika hamil delapan bulan, Nipper kehilangan indra penciuman dan mengalami demam, gejala yang ternyata merupakan infeksi COVID-19 walau terlihat kecil. Gejala-gejala itu dengan cepat menghilang, akan tetapi Jack yang ada dalam kandungan tampaknya tidak banyak bergerak seperti sebelumnya. Ia mencoba minum minuman berkafein dan tidak ada perubahan. Ia menuju ke rumah sakit di Columbus, Georgia untuk pemantauan janin ketika staf medis menyampaikan kabar: bayi Jack telah tiada.
"Bayi Jack seharusnya melihat dunia dalam waktu kurang dari tiga minggu. Ketika diberitahu bahwa gerakan bayi dan detak jantung tidak ada karena sudah meninggal, itu adalah berita yang tak saya duga akan saya dengar ketika datang ke rumah sakit," ujar Nipper.
Dokter yang menangani Nipper, Dr Timothy Villegas mengatakan pengetesan menunjukkan plasenta telah menunjukkan pola peradangan yang mirip dengan paru-paru mereka yang meninggal karena COVID-19. Menurut Dr. Villegas, pengetesan khusus di Rumah Sakit Umum Massachusetts menunjukkan plasenta itu sendiri terinfeksi virus.
Villegas mengungkapkan dugaannya bahwa kerusakan plasenta akibat COVID "berdampak pada kemampuan janin untuk mendapatkan oksigen, nutrisi, dan sebagainya. Keadaan demikian kemudian menyebabkan kematian bayi."
Dokter itu mengungkapkan untuk pertama kali salah satu pasiennya mengalami kematian pada bayi saat kelahiran yang disebabkan oleh virus, namun dia telah mengetahui hal tersebut dari dokter daerah lainnya.
"Kami berada pada titik di mana semua orang mulai memberikan peringatan (akan bahaya COVID-19 pada janin)," ujarnya.
Di Alabama barat, Dr. Cheree Melton, seorang dokter spesialis kebidanan sekaligus dosen di Universitas Alabama, mengatakan ia dan rekan-rekannya mendapat beberapa pasien yang tidak divaksinasi dan terinfeksi COVID-19 mengalami keguguran, atau bayi meninggal saat bersalin, suatu masalah yang diperburuk dengan penyebaran varian delta.
"Sangat memilukan untuk memberitahu seorang ibu bahwa ia tidak akan pernah bisa menggendong bayinya. Kami sangat sering harus lakukan itu, melebihi dari yang pernah saya ingat terjadi dalam beberapa tahun terakhir.”
Melton mendorong setiap perempuan hamil yang ia rawat namun belum divaksinasi untuk mendapatkan suntikan vaksin. Akan tetapi banyak yang masih belum bersedia. Sebagian dari mereka menyampaikan belum berpikir untuk vaksinasi. Akan tetapi rumor dan informasi yang salah juga menjadi masalah besar.
Nipper dan Harrison membagikan cerita mereka dengan harapan dapat membuat perempuan lain berkonsultasi dengan dokter terkait vaksinasi.
"Jika saja saya mengajukan lebih banyak pertanyaan mengenai hal itu. Berkaca ke belakang, saya berusaha melakukan segala yang mungkin bisa dilakukan untuk memberinya kehidupan yang sehat. Satu-satunya hal yang tidak kulakukan dan akan saya tanggung seumur hidup, adalah saya tidak vaksinasi," katanya.
Ketika pulang dari rumah sakit dengan bayi yang sehat, Harrison mengungkapkan rasa syukur yang mendalam – sekaligus diliputi rasa bersalah dengan apa yang telah dialami bayi itu karena dirinya tidak divaksinasi.
"Saya selalu menangis hanya untuk hal-hal sepele. Memberi makan atau memeluk anak saya yang berusia 4 tahun sambil memikirkan bagaimana jika mereka harus menjalani hidup tanpa saya dan itu adalah kenyataan bagi banyak orang saat ini. Sangat menakutkan dan semuanya bisa dicegah jika saya divaksinasi." [mg/lt]