Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan pihaknya telah membentuk tim penanganan dan pencegahan perundungan serta kekerasan seksual. Tim itu beranggotakan tujuh orang, yang terdiri dari lima pegiat HAM, dan dua Komisioner KPI Pusat. Pembentukan tim tersebut merupakan buntut kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kerja KPI Pusat dengan korban berinisial MS.
"Berlaku sejak 16 November 2021 dengan tugas pendampingan korban dan perumusan kebijakan atau pedoman internal dalam hal penanganan serta pencegahan perundungan maupun kekerasan hingga pelecehan seksual di lingkungan KPI Pusat," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/11).
Lanjut Agung, KPI Pusat bersama tim penanganan dan pencegahan perundungan serta kekerasan seksual akan menindaklanjuti hasil kajian rekomendasi dari Komnas HAM. Rekomendasi itu akan dijadikan acuan pembuatan kebijakan dalam penanganan serta upaya pencegahan agar kasus serupa tidak terulang lagi. "Demi penegakan HAM di lingkungan kerja KPI Pusat," ucapnya.
Kemudian, KPI Pusat akan bersikap tegas dan tidak mentolerir tindakan perundungan serta kekerasan seksual dalam bentuk apa pun. Sanksi sesuai peraturan yang berlaku juga menanti terhadap pegawai yang terlibat dalam kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual tersebut.
"Kami akan melakukan pengarahan, sosialisasi secara berkala kepada seluruh pegawai terkait pemahaman pencegahan dan penanganan perundungan serta kekerasan seksual di lingkungan kerja KPI Pusat," jelas Agung.
Sementara, Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menjelaskan bahwa pihaknya tidak bisa membeberkan hasil penyelidikan yang dilakukan tim investigasi internal KPI Pusat dalam kasus ini.
"Kalau dipublikasi bisa jadi dilihat tidak objektif karena itu sepenuhnya kami serahkan ke kepolisian dan juga Komnas HAM," jelasnya.
Menurut Mulyo, hasil investigasi internal yang dilakukan KPI Pusat akan disampaikan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika serta DPR RI terkait kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual tersebut.
"Tim yang sudah kami bentuk itu nanti yang mungkin bisa lebih objektif untuk melihat kasus ini. Kami berharap kasus ini bisa segera diselesaikan agar bisa segera mengambil langkah yang lebih tepat berkaitan dengan terduga pelaku," pungkasnya.
Rekomendasi Komnas HAM
Sebelumnya, Komnas HAM merekomendasikan agar KPI Pusat memberikan dukungan kepada MS, baik secara moral maupun mekanisme kebijakan dalam rangka pemulihan korban. KPI juga diminta bersikap kooperatif dengan kepolisian dalam upaya mempercepat proses penegakan hukum.
"Memberikan sanksi kepada pihak yang terbukti melakukan pelanggaran. Mengeluarkan kebijakan yang melarang perundungan, pelecehan, kekerasan di lingkungan KPI Pusat. Membuat pedoman pencegahan serta pemulihan atas tindakan perundungan, pelecehan, dan kekerasan, di lingkungan KPI Pusat," jelas Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara.
Beka juga menyarankan agar tindakan pelecehan dan perundungan di lingkungan KPI Pusat tak lagi terjadi. KPI harus memberikan edukasi secara berkala kepada pegawainya terkait pemahaman pencegahan, penanganan, dan pemulihan atas tindakan perundungan pelecehan serta kekerasan.
"Membuat sistem pemantauan dan pelaporan yang komprehensif terhadap tindakan perundungan dan pelecehan di tempat kerja," ucapnya.
Perundungan Seksual di KPI Pusat
Kasus dugaan perundungan yang dialami MS pertama kali terjadi pada 2012-2014. Saat itu MS merupakan pegawai KPI Pusat bagian visual data. Beberapa pegawai di KPI saat itu mulai merundung MS. Kemudian, pelecehan seksual terhadap MS terjadi pada 2015. Peristiwa pelecehan seksual ini terjadi sekitar pukul 12.00-13.00 WIB saat sedang istirahat kerja.
Rentetan tindakan itu terus dialami MS, bahkan pada 2017 di mana saat dirinya sedang tidur dia diceburkan ke kolam renang oleh dua terduga pelaku. Lalu, pada 2019 salah satu terduga pelaku pernah membuang tas MS ke luar ruangan dan menyingkirkan kursi kerjanya.
Ada juga terduga pelaku memukul kepala MS dan menyampaikan kalimat yang tidak pantas kepada korban. Akibat perundungan yang berulang kali, MS mengalami stres berat terutama pascapelecehan seksual pada 2015 sampai sekarang. Tindakan itu bukan hanya berdampak terhadap relasi kerja, tapi juga berpengaruh ke hubungan antara suami dan istri di rumah MS serta dengan keluarganya.
MS sebelumnya telah mencoba melaporkan perundungan, pelecehan seksual, hingga kekerasan yang dialaminya kepada polisi sebanyak dua kali. Pada 2019 laporannya tidak direspons karena MS tak membawa barang bukti dan dokumen pendukung lainnya. Kemudian, pada 2020 MS melapor lagi ke Polsek Gambir dan disarankan untuk mengadukan ke atasan terlebih dahulu. Padahal saat itu MS telah membawa sejumlah hasil pemeriksaaan dari Puskesmas Taman Sari. [aa/em]