Sejumlah pejabat tinggi perusahaan energi pada minggu ini mendesak adanya transisi kebijakan energi yang lebih hati-hati pada industri minyak dan gas di Amerika Serikat (AS). Namun seorang pejabat Departemen Energi AS mengatakan pihak industri memiliki kewajiban moral untuk mengatasi perubahan iklim global.
Eksekutif Saudi Aramco, Exxon Mobil dan Chevron, berbicara di Kongres Minyak Dunia (World Petroleum Congress) di Houston pada Senin (6/12), mengatakan tingginya permintaan energi terbarukan dan kurangnya investasi dalam bahan bakar fosil adalah dua hal yang menjadi biang dari kelangkaan bahan bakar dan volatilitas harga yang terjadi baru-baru ini.
"Volatilitas harga komoditas dan dampaknya terhadap bisnis dan manusia," kata Kepala Eksekutif Equinor ASA Anders Opedal, "menggambarkan risiko yang kita hadapi dalam transisi yang tidak seimbang."
Deputi Menteri Energi AS David Turk menentang posisi industri, dengan mengatakan bahwa mengatasi iklim tidak dapat dikesampingkan.
"Tidak ada alternatif untuk meningkatkan dan memperbaiki ancaman terhadap perubahan iklim," katanya kepada hadirin di aula yang sebagian besar kosong.
Konsumen di Asia dan Eropa telah menghadapi kekurangan gas alam, batu bara, dan listrik karena penurunan produksi yang mendorong harga ke level tertinggi dalam beberapa tahun. Di Amerika Serikat, pemerintahan Biden telah mengkritik perusahaan minyak dan gas, dengan mengatakan mereka mengutamakan keuntungan daripada kepentingan konsumen.
"Masa depan energi adalah karbon yang lebih rendah dari penemuan dan produksi eksplorasi," kata Liz Schwarze, Wakil Presiden Eksplorasi Global di Chevron.
Orang-orang "berasumsi bahwa strategi transisi yang tepat sudah ada. Padahal tidak," kata Nasser. "Keamanan energi, pembangunan ekonomi dan keterjangkauan jelas tidak mendapat perhatian yang cukup." [ah/rs]