Komite Pusat Dokter Sudan CCSD hari Senin (3/1) mengatakan sedikitnya tiga demonstran tewas ditembak aparat keamanan dalam demonstrasi menanggapi pengunduran diri Perdana Menteri Abdallah Hamdok hari Minggu (2/1), menambah jumlah demonstran yang tewas di tangan aparat sejak Oktober lalu menjadi 57 orang.
Sudah telah sejak lama dilanda krisis politik, sejak Panglima Angkatan Bersenjata Sudan Jendral Abdel Fattah Al Burhan menyatakan status darurat pada 25 Oktober lalu, membubarkan Dewan Kedaulatan Sudan dan pemerintah.
Para demonstran telah berkumpul di jalan-jalan Khartoum dan kota-kota besar lain untuk memprotes pengambilalihan oleh militer dan pernyataan politik yang disampaikan kemudian, yang mengembalikan kekuasaan Hamdok sebagai perdana menteri. Pada akhir tahun terjadi demonstrasi besar-besaran setelah Dewan Kedaulatan Sudan mengembalikan wewenang untuk melakukan penangkapan, penahanan dan penyitaan ke tangan dinas intelijen.
“Saya percaya bahwa orang-orang di jalan tidak akan menerima inisiatif apapun yang bukan berasal dari komite perlawanan karena setiap orang yakin komite ini yang sepenuhnya berasal dari orang-orang yang murni dan bersih, yang tidak memiliki kepentingan apapun selain kepentingan pada negara,” ujar seorang pengunjukrasa.
Pasukan keamanan telah dikerahkan untuk menghadapi para demonstran.
Mereka memblokir jembatan yang menghubungkan tiga kota: Khartoum, Khartoum Bahri dan Omdurman. Layanan internet juga terganggu.
Apa yang Diinginkan Rakyat Sudan?
Pemimpin The Forces of Freedom and Change atau Angkatan Kebebasan dan Perubahan, Salma Nour, mengatakan diperlukan visi politik yang jelas untuk memajukan negara ini.
“Kita telah tiba dalam prosesi menuju Istana, kita harus menyampaikan tuntutan, apa yang kita inginkan dari Istana? Apakah kita ingin mengalahkan kudeta, bagaimana caranya? Apakah ingin menggulingkan total kemapanan militer, ingin agar militer keluar dari negara dan pemerintahan? Atau apakah kita ingin menjatuhkan Al Burhan dan Muhammad Hamdan Dagalo? Apa yang kita inginkan? Jika kita tidak menyetujui tuntutan kita, prosesi dengan jutaan demonstrasi ini akan mencapai Istana tanpa hasil. Jadi harus ada kesepakatan tentang visi politik dan tuntutan revolusi (terlebih dahulu),” tukasnya.
Mereka yang turun ke jalan di ibu kota Khartoum terbagi menjadi kelompok yang menyetujui atau menentang pengunduran diri Hamdok, yang mundur di tengah demonstrasi pro-demokrasi pasca kudeta militer yang mengacaukan upaya menuju pemerintahan demokratis.
Wartawan Sudan, Mohamed Ali Fazary yakin pengunduran diri Hamdok justru menciptakan kerumitan politik lebih jauh.
“Pengunduran diri Perdana Menteri Abdalla Hamdok semakin memperumit situasi dan mungkin akan mendorong negara ini menuju situasi yang tidak menentu, karena Hamdok terbiasa menangani perbedaan diantara tokoh-tokoh politik dan membantu negara ini mengatasi perbedaan yang ada dan bergerak maju dengan satu kesepakatan untuk suatu proyek nasional,” katanya.
Upaya Hamdok Gagal
Hamdok, mantan pejabat PBB yang dipandang sebagai wajah sipil pemerintah transisi Sudan, telah diangkat kembali sebagai Perdana Menteri bulan November lalu sebagai bagian dari kesepakatan dengan militer pasca kudeta 25 Oktober.
Namun, Hamdok gagal membentuk kabinet, dan pengunduran dirinya pada hari Minggu (2/1) semakin mendorong Sudan dalam ketidakpastian politik di tengah tantangan keamanan dan ekonomi.
Dalam pesannya ketika mengundurkan diri, Hamdok dengan suara lirih mengakui upayanya untuk menjembatani perbedaan dan kesenjangan yang melebar, serta menyelesaikan perselisihan di antara kekuatan-kekuatan politik telah gagal. Ia juga memperingatkan bahwa kebuntuan politik yang sedang berlangsung dapat menjadi krisis besar dan semakin memperburuk kondisi ekonomi yang sudah porak-poranda.
Kudeta pada bulan Oktober itu menyudahi upaya Sudan beralih menuju negara demokrasi pasca pemberontakan rakyat yang memaksa penggulingan pemimpin sejak lama, Omar Al Bashir, pada April 2019. Empat bulan setelah penggulingan itu, para jendral dan demonstran sepakat melakukan pembagian kekuasaan dan melangsungkan pemilu pada tahun 2023. Namun rusaknya hubungan militer-sipil pasca kudeta itu memperburuk krisis politik di Sudan. [em/jm]