Para menteri keuangan G-20, kelompok 20 negara industri, memulai pertemuan selama dua hari di Jakarta pada Kamis (17/2), ketika banyak negara miskin menghadapi krisis utang yang semakin parah.
Pandemi virus corona menyebabkan banyak negara berkembang menumpuk utang, yang menurut aktivis kampanye penghapusan utang merusak kemampuan negara-negara itu dalam menyediakan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.
Dalam wawancara dengan VOA, Rebeca Grynspan, sekretaris jenderal Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), mengatakan bahwa tingkat utang sudah tinggi sejak sebelum pandemi, namun situasinya memburuk dengan cepat.
“Mereka menumpuk utang dan pendapatan ekspor mereka tidak cukup untuk melunasi beban utang tersebut. Itu sebabnya situasi ini sudah cukup dramatis bagi banyak negara ini,” kata Grynspan.
Sri Lanka
Pantai keemasan dan hutan tropis Sri Lanka biasanya menarik jutaan wisatawan setiap tahun. Namun pandemi COVID-19 memangkas sumber pendapatan itu ketika karantina wilayah di seluruh dunia mengacaukan perdagangan. Peringkat obligasi negara juga diturunkan dan para ekonom khawatir Sri Lanka akan menjadi negara berikutnya yang mengalami gagal bayar.
Pandemi virus corona telah mendorong jumlah total utang dunia ke level tertinggi dalam setengah abad terakhir, menurut data Bank Dunia. Lebanon, Suriname, Venezuela dan Zambia telah gagal membayar utang mereka.
Angka yang dicatat Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan Ethiopia, Tunisia, Argentina, El Salvador, Ghana, Republik Kongo, Tajikistan dan Mozambik juga berisiko tinggi tidak mampu membayar utang mereka.
Eric LeCompte, direktur eksekutif Jubilee USA Network, yang mengampanyekan penghapusan utang bagi negara-negara miskin, mengatakan para kreditur harus mengambil tindakan sekarang.
“G-20 perlu menawarkan keringanan utang yang cepat dan mendalam serta mendorong kreditur swasta mengambil langkah serupa. Sejarah mengajarkan kita bahwa semakin lama kita menunggu penyelesaian krisis utang, semakin sulit untuk menyelesaikan krisis itu,” tulisnya dalam email yang dikirim kepada VOA.
Perlambatan Pertumbuhan
Banyak negara berkembang mengambil pinjaman selama pandemi. Kini mereka menghadapi pelunasan bernilai besar, yang diperkirakan Bank Dunia jumlahnya mencapai $35 miliar (sekitar Rp499 triliun) pada tahun 2022 – meningkat 45 persen dari tahun lalu, di mana hampir separuhnya berutang ke China. Sementara itu, perkiraan pertumbuhan ekonomi sendiri terpangkas. Bulan lalu, IMF mengatakan pertumbuhan ekonomi diperkirakan melambat hingga 4,4 persen pada 2022, turun dari 5,9 persen tahun lalu.
“Untuk pertama kalinya, laju pertumbuhan negara-negara berkembang kurang dari laju pertumbuhan negara-negara maju, jadi dalam hal keberlanjutan beban utang ini, kita berada pada ruang berisiko yang amat tinggi,” kata Grynspan kepada VOA.
Keringanan Utang
G-20 telah meluncurkan program keringanan utang, termasuk Inisiatif Penangguhan Pembayaran Utang, yang telah membekukan pembayaran utang selama pandemi.
“Ini arah yang benar, walau mengandung dua masalah,” ujar Grynspan. “Pertama, ini adalah penangguhan, jadi negara-negara harus mulai melunasi pada Juni tahun ini sementara krisis belum berakhir. Dan kedua, dampak dalam hal pembayaran utang terhadap total pembayaran utang negara-negara berkembang itu sangat, sangat kecil.”
G-20 juga meluncurkan program pengurangan utang pada November 2020, yang dikenal sebagai Common Framework. Dalam program itu, negara-negara peserta akan menyetujui restrukturisasi utang dengan kreditur bilateral dan IMF, dan kemudian berusaha untuk mendapatkan keringanan utang yang sama pada pinjaman di sektor swasta. Meski demikian, hanya tiga negara – Chad, Zambia dan Ethiopia – yang meminta bantuan. Sejauh ini, belum ada satu pun yang menerima keringanan utang.”
Grynspan mengatakan, banyak negara yang berutang khawatir akan konsekuensinya.
“Banyak negara yang tidak mau datang, karena mereka khawatir akan dihukum pasar. Dan apabila itu terjadi, akses mereka ke obligasi swasta maupun kemungkinan mereka ke pasar untuk membiayai diri sendiri akan sangat terhambat.”
IMF
Menanggapi pandemi, IMF mengeluarkan Hak Penarikan Khusus – mata uang darurat, pada dasarnya – senilai $650 miliar (sekitar Rp9.279 triliun). Namun, negara-negara kaya lah penerima utamanya, dengan menarik $400 miliar dari dana tersebut.
LeCompte dari Jubilee USA Network mengatakan G-20 harus memperbaiki kesenjangan itu.
“G-20 dapat menegaskan arah ‘kendaraan’ tanggap pandemi yang dapat menerima sumbangan Hak Penarikan Khusus dari negara-negara kaya. Resilience and Sustainability Trust milik IMF dapat mendanai pinjaman jangka panjang yang terjangkau bagi negara-negara berkembang,” ungkapnya.
Peringatan krisis utang muncul menyusul biaya pinjaman yang meningkat tajam, di mana bank-bank sentral menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi. Grynspan mengatakan, negara-negara kreditur harus mengambil tindakan segera atas pengurangan utang. Alternatifnya, dia memperingatkan, adalah “dekade yang hilang” bagi negara-negara berkembang. [rd/rs]