Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mempertanyakan hal-hal meringankan yang menjadi pertimbangan Majelis hakim Mahkamah Agung dalam memutus kasasi Edhy Prabowo. Ia menilai faktanya Edhy sebagai pejabat publik telah melakukan korupsi terkait ekspor dan budidaya benih bening lobster (BBL). Karena itu, kata Kurnia, penilaian majelis hakim yang menyebut Edhy saat bekerja menjadi menteri bekerja dengan baik tidak masuk akal.
"Hukuman 5 tahun ini menjadi sangat janggal, sebab, hanya 6 bulan lebih berat jika dibandingkan dengan staf pribadinya Edhy, yakni Amiril Mukminin," jelas Kurnia kepada VOA, Kamis (10/3).
Kurnia menambahkan majelis hakim juga mengabaikan ketentuan Pasal 52 KUHP yang menegaskan pemberatan pidana bagi pejabat yang melakukan pidana dengan memakai kekuasaan. Regulasi tersebut menyebutkan pejabat dengan kriteria tersebut maka pidananya dapat ditambah sepertiga hukuman.
Selain itu, kata dia, praktik korupsi yang dilakukan Edhy bersamaan dengan kesulitan masyarakat yang sedang menghadapi pandemi COVID-19. Sehingga tidak tepat jika majelis hakim menilai Edhy memberi harapan kepada masyarakat.
"Pemotongan hukuman oleh Mahkamah Agung ini dikhawatirkan menjadi multivitamin sekaligus penyemangat bagi pejabat yang ingin melakukan praktik korupsi. Sebab, mereka melihat secara langsung bagaimana putusan lembaga kekuasaan kehakiman jarang memberikan efek jera," tambahnya.
MA: Ini Hanya Perbaikan Pidana Pokok
Sementara itu, juru bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro menjelaskan majelis hakim menolak kasasi yang diajukan Edhy Prabowo karena tidak sesuai dengan hukum. Namun, kata Andi, majelis hakim menilai Edhy Prabowo telah bekerja baik dan memberi harapan kepada nelayan karena mencabut aturan soal benih lobster.
"Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan soal pengelolaan lobster, eksportir disyaratkan untuk memperoleh benih lobster dari nelayan kecil penangkap BBL. Sehingga jelas perbuatan terdakwa untuk mensejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil," jelas Andi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (10/3).
Kata Andi, majelis hakim hanya memperbaiki pidana pokok Edhy Prabowo yakni dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun. Sedangkan untuk pidana tambahan pencabutan hak untuk tidak dipilih dalam jabatan publik menjadi tidak dipilih hingga dua tahun.
Putusan majelis hakim MA ini sama dengan tuntutan jaksa KPK dan vonis majelis hakim pengadilan tipikor Jakarta yakni lima tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Namun, untuk pencabutan hak dipilih, jaksa menuntut tiga tahun setelah hukuman, sedangkan pengadilan tipikor Jakarta memvonis 2 tahun.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian memperberat hukuman Edhy menjadi 9 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta rupiah serta pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun. [sm/em]