Sebuah perjanjian PBB yang bertujuan menyelamatkan daerah berpenduduk dari senjata peledak, hampir selesai disusun dan diharapkan akan selesai awal Juni. Sekitar 200 delegasi dari lebih dari 65 negara berperan serta dalam negosiasi pekan lalu di markas besar PBB di Jenewa.
Perjanjian internasional baru mewajibkan negara-negara untuk mengurangi bahaya terhadap warga sipil, dengan membatasi penggunaan senjata peledak termasuk serangan udara, sistem roket multi-laras, dan mortir, di kota-kota besar dan kecil.
Senjata-senjata itu dirancang untuk digunakan di medan perang terbuka dan berakibat menghancurkan jika digunakan di daerah yang berpenduduk. Sebuah koalisi LSM, Jaringan Internasional untuk Senjata Peledak, melaporkan penggunaan senjata peledak berat di kota-kota besar dan kecil yang membunuh dan melukai puluhan ribu warga sipil setiap tahun serta merusak prasarana sipil.
Hal ini dibuktikan dengan data terbaru dari Ukraina, Ethiopia, Irak, Gaza, Yaman, dan Suriah yang 90 persen korbannya adalah warga sipil. Terlepas dari banyaknya korban yang disebabkan oleh senjata-senjata itu, jaringan itu melaporkan beberapa negara termasuk Belgia, Kanada, Israel, Turki, Inggris, dan AS, berusaha melemahkan teks perjanjian itu.
Koordinator Jaringan Internasional untuk Senjata Peledak, Laura Boillot, mengatakan:
“Situasi di Ukraina, di mana kita melihat penggunaan meluas berbagai senjata peledak yang berbeda, dari bom yang dijatuhkan dari udara, sistem rudal ke kota-kota besar di Ukraina, membuat sulit untuk negara-negara meremehkan masalah ini.“
Boillot mencatat ada seruan kuat untuk menyusun teks perjanjian yang lebih memusatkan perhatian pada masalah kemanusiaan dari negara-negara seperti Chili dan Meksiko, Togo dan Nigeria, serta Austria dan Selandia Baru. [ps/jm]