Peneliti di Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko kepada VOA, Sabtu (30/4), mengatakan kepala daerah, kepala instansi tertentu atau sekretariat kantor tertentu seringkali menyuap untuk memperoleh hasil audit berstatus wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Wawan menanggapi penahanan Bupati Bogor Ade Yasin dalam kasus dugaan suap terhadap pegawai BPK. Ade Yasin ditahan dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (26/4). Ade Yasin diduga memerintahkan anak buahnya untuk menyuap keempat pegawai BPK tersebut untuk memperoleh hasil audit laporan keuangan berpredikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Dalam OTT itu, KPK juga menyita uang Rp1,024 miliar yang diduga untuk menyuap empat auditor BPK. KPK telah menetapkan delapan tersangka, termasuk Ade Yasin.
Wawan menekankan praktik suap agar mendapat hasil pemeriksaan berstatus WTP dari BPK memang tidak wajar, tetapi kasusnya cukup mencuat. Kepala daerah atau kepala instansi yang menyuap meyakini opini WTP yang mereka terima akan mendapat simpati dari masyarakat.
Menurut Wawan, BPK sendiri sudah menyatakan hasil audit berstatus WTP tidak ada kaitannya dengan suatu daerah atau instansi bebas dari kasus korupsi.
"Karena ternyata yang diaudit oleh BPK itu sifatnya acak dan hanya melihat kesesuaian perencanaan keuangan dengan laporan yang sifatnya administratif. Sementara kita tahu korupsi itu selalu di luar yang administratif. Kalau sampai administratif itu korup, itu disebut penipuan. Itu biasanya terdeteksi," kata Wawan.
Wawan menjelaskan Undang-undang BPK sudah mengamanatkan jika terjadi kelebihan atau kekurangan bayar, kepala daerah punya waktu 2x30 hari untuk menyelesaikan laporan keuangannya. Ini bukan korupsi, tapi hanya administratif saja. Ketika terjadi penyimpangan atau suap, barulah itu disebut korupsi.
Wawan menambahkan kepala daerah atau kepala instansi berambisi mendapatkan hasil audit berstatus WTP dari BPK untuk memperoleh insentif dari Kementerian Keuangan bagi daerah atau instansi yang mereka pimpin. Besaran insentif ini dalam persentase dari dana alokasi khusus. Dana insentif ini biasanya digunakan oleh kepala daerah untuk memoles citranya dengan membangun hal-hal di luar perencanaan atau untuk tambahan tunjangan pegawai.
Agar praktik suap terhadap pegawai atau pimpinan BPK tidak marak terjadi, lanjutnya, perlu menjaga integritas dan menegakkan kode etik internal. Selain itu, perlu pengawasan publik terhadap kinerja BPK. Juga perlu menjaga integritas kepada daerah dan memperkuat fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat darah (DPRD) terhadap kinerja kepala daerah.
Dia meminta BPK tidak sekadar mengaudit laporan keuangan saja, tapi juga mengaudit kinerja daerah atau instansi untuk melihat apakah laporan keuangan mereka sesuai atau tidak dengan kinerja mereka.
Wawan menyarankan agar Kementerian Keuangan tidak asal mentransfer dana insentif bagi daerah yang memperoleh hasil audit berstatus wajar dari BPK. Dia mengatakan perlu sebuah forum melibatkan kementerian terkait untuk mengevaluasi apakah hasil audit itu memang sesuai dengan fakta di lapangan.
ICW: BPK gagal awasi auditor
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti pengawasan internal terhadap para auditor KPK setelah kasus dugaan suap kembali terjadi dan melibatkan Bupati Bogor Ade Yasin. ICW menilai BPK gagal mengawasi auditornya.
Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha, BPK tidak serius membenahi instansinya karena pengawasan internal mereka gagal menjalankan fungsinya. Dia menegaskan predikat WTP dari BPK tidak menjamin bebas dari korupsi.
Dalam jumpa pers, Ketua KPK Firli Bahuri membenarkan praktik suap itu dilakukan agar Pemerintah Kabupaten Bogor kembali mendapat laporan keuangan berpredikat WTP dari BPK. Sebagai pemberi suap, Bupati Bogor Ade Yasin dan tiga anak buahnya. Sedangkan penerima suap adalah empat pegawai BPK.
Menurutnya, KPK menahan kedelapan tersangka itu selama 20 hari mulai 27 April-16 Mei 2022 untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
"KPK menyampaikan perasan prihatin karena sampai hari ini masih ada penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi. KPK telah melakukan berbagai upaya, baik dilakukan dengan upaya pendidikan masyarakat, supaya sadar untuk tidak melakukan korupsi," tutur Firli.
Firli menegaskan KPK tidak pernah berhenti untuk melakukan perbaikan sistem untuk menghilangkan celah dan peluang korupsi. Meski begitu, KPK akan terus menindak karena upaya pendidikan terhadap masyarakat dan upaya pencegahan tidak akan bisa menghilangkan praktik-praktik korupsi sampai seratus persen.
Dia mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk terus membantu KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. [fw/ft]