Korea Utara pada Senin (16/5) melaporkan delapan kasus kematian baru akibat COVID-19 dan sebanyak 393.920 orang di negara tersebut dilaporkan memiliki gejala demam di tengah perebakan luas pandemi virus corona di negara itu.
Angka terakhir ini muncul ketika pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengecam keras keterlambatan pengiriman obat-obatan, dan memerintahkan militer untuk terlibat dalam penanganan COVID-19 di wilayah ibu kota Pyongyang.
Markas darurat anti-virus di Korea Utara mengatakan lebih dari 1,2 juta orang jatuh sakit di tengah perebakan luas demam dengan sangat cepat sejak akhir April lalu, dan sekitar 564.860 orang kini menjalani karantina.
Delapan kematian baru yang dilaporkan dalam 24 jam terakhir menjadikan jumlah korban meninggal akibat COVID-19 menjadi 50 orang.
Media pemerintah tidak merinci berapa banyak kasus demam dan kematian yang dikonfirmasi sebagai akibat COVID-19.
Dalam pertemuan Politbiro partai yang berkuasa pada Minggu (15/5), Kim mengkritisi pemerintah dan pejabat-pejabat kesehatan atas apa yang digambarkannya sebagai respons pandemi yang gagal.
Kantor berita resmi Korea Utara KCNA melaporkan pasokan obat-obatan tidak dipasok ke apotek tepat waktu karena “sikap kerja yang tidak bertanggung jawab” dan kurangnya pengorganisasian. Foto-foto KCNA menunjukkan Kim mengunjungi apotek kecil di ibu kota Pyongyang.
Apotek dan toko-toko serupa telah menjadi gambaran ibu kota itu selama dekade terakhir ini, tetapi persediaan di fasilitas semacam itu umumnya adalah obat-obatan tradisional Korea, dan hanya ada sedikit obat-obatan modern atau buatan luar negeri. Korea Utara telah sejak lama mengalami kekurangan obat-obatan dalam segala jenis, dan masalah pasokan yang sudah kedaluarsa.
Politbiro telah mengeluarkan perintah darurat untuk segera mengeluarkan dan mendistribusikan cadangan obat negara, dan memerintahkan apotek-apotek untuk buka selama 24 jam.
Tetapi Kim Jong Un mengatakan langkah-langkah semacam itu belum diimplementasikan sebagaimana mestinya dan telah memerintahkan unit-unit medis militer untuk terlibat menstabilkan pasokan obat-obatan di Pyongyang, demikian petikan laporan KCNA.
Klaim Korea Utara bahwa negara itu berhasil mencegah masuknya virus mematikan tersebut selama 2,5 tahun sangat diragukan. Tetapi penutupan perbatasan yang sangat ketat, karantina berskala besar dan propaganda yang menekankan pengendalian anti-virus sebagai masalah “keberadaan nasional” mungkin telah mencegah meluasnya wabah hingga saat ini. [em/pp]