Tautan-tautan Akses

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Secara Non Yudisial Langgengkan Impunitas


Para ibu yang kehilangan anak selama kekacauan politik tahun 1998 mengambil bagian dalam protes bisu mingguan "Kamisan" terhadap pelanggaran hak asasi manusia di luar istana presiden di Jakarta, 17 Mei 2018. (Foto: ilustrasi - Reuters/Willy Kurniawan)
Para ibu yang kehilangan anak selama kekacauan politik tahun 1998 mengambil bagian dalam protes bisu mingguan "Kamisan" terhadap pelanggaran hak asasi manusia di luar istana presiden di Jakarta, 17 Mei 2018. (Foto: ilustrasi - Reuters/Willy Kurniawan)

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum tahun 2000 secara non-yudisial (di luar pengadilan) dinilai dapat melanggengkan impunitas serta pengingkaran terhadap hak korban dan keluarganya. 

Proses penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu hingga kini masih menjadi perdebatan.

Organisasi masyarakat sipil yang menangani persoalan hak asasi manusia, korban dan keluarga sangat berharap penyelesaikan perkara itu diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Sementara pemerintah kembali mengupayakan di luar pengadilan (non Yudisial) untuk kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di bawah tahun 2000.

Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab kepada VOA, Jumat (20/5) mengatakan sebagai gagasan, penyelesaian secara non-yudisial memang dikenal di dalam hukum hak asasi manusia, namun Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang mengatur terkait hal itu.

Apabila upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini tetap dilakukan di luar pengadilan maka perlu ada undang-undang baru atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo perihal hal tersebut.

“Non-yudisial itu tidak ada dasar hukumnya hingga hari ini. Nah kalau Pak Moeldoko mengusulkan hal itu, maka pilihannya buat undang-undang baru atau kebijakan dari presiden, tinggal itu pilihan kita. Tanpa itu, yang tersedia adalah pengadilan. Nah karena hari ini yang tersedia pengadilan ada baiknya juga pak Moeldoko meminta jaksa agung menindaklanjuti hasil penyelelidikan Komnas,” ujar Amiruddin.

Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan 13 kasus pelanggaran HAM ke Kejaksaan Agung. Ketiga belas kasus tersebut adalah :

1. Peristiwa pembantaian 1965-1966 pasca pemberontakan G30S/PKI1965

2. Penembakan Misterius tahun 1982-1985

3. Kasus Talangsari tahun 1989

4. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II di tahun 1998-1999.

5. Kerusuhan Mei 1998

6. Penghilangan Paksa tahun 1997-1998

7. Peristiwa Wasior tahun 2001

8. Peristiwa Wamena tahun 2003

9. Pembunuhan Dukun Santet tahun 1998.

10. Insiden Simpang KKA, Aceh tahun 1999

11. Insiden Jambu Keupok, Aceh tahun 2003

12. Peristiwa Rumah Geudong di rentang waktu 1989-1998

13. Peristiwa di Painai, Papua, tahun 2004.

Namun hingga kini hasil penyelidikan tersebut belum ada yang ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. Lembaga itu mengatakan hasil penyelidikan Komnas HAM belum menemukan alat bukti yang cukup. Selain itu, penyelidik juga belum memeriksa saksi kunci dan menemukan dokumen yang dapat menjelaskan unsur kejahatan terhadap kemanusiaan dan unsur serangan yang meluas atau sistematik.

KSP: Pemerintah Sedang Selesaikan Penyelesaian Non-Yudisial

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan pemerintah saat ini sedang menyelesaikan draft kebijakan penyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan mekanisme non-yudisial.

Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko (foto: dok)
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko (foto: dok)

Menurutnya pemerintah tidak tinggal diam dan tetap menjadikan pelanggaran HAM masa lalu sebagai prioritas. Penyelesaian secara yudisial akan digunakan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sedangkan untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum November 2000 akan diupayakan dengan penyelesaian melalui pendekatan non yudisial seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

“Terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM berat sebelum tahun 2000 maka perlunya dipikirkan pendekatan-pendekatan non yudisial. Untuk itulah saat ini pemerintah melalui Menkopolhukam telah menyusun KKR itu,”ungkap Moeldoko.

Kritik terhadap Penyelesaian Non-Yudisial

Pengacara Publik LBH Jakarta, Teo Reffelsen mengungkapkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di bawah tahun 2000 secara non yudisial (di luar pengadilan) bisa melanggengkan impunitas serta pengingkaran terhadap hak korban dan keluarganya.

“Kami menilai itu tetap harus secara yudicial (pengadilan) karena harus ada pengungkapan kebenaran. Baik pelaku ataupu korban dia butuh pengungkapan kebenaran. Korban harus tahu siapa pelakunya, apa alasan melakukannya sehingga pendekatannya melalui mekanisme yudisial,” tegas Teo Reffelsen.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Secara Non Yudisial Langgengkan Impunitas
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:58 0:00

Menurut Teo, yang perlu dilakukan, Presiden Jokowi harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat pada masa lalu dan melakukan permohonan maaf kepada korban dan keluarga serta seluruh warga negara secara terbuka serta melakukan pengungkapan kebenaran, penegakan hukum dan reformasi kelembagaan dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden lanjutnya, juga harus memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan terhadap perkara itu.

Komnas HAM dan Jaksa Agung diserukan segera menyerahkan hasil penyelidikan dan penyidikan ke DPR. Dan parlemen segera merekomendasikan atau mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad-hoc atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG