Pada 13 Juni, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin ditanya tentang laporan Bloomberg News yang menambah ketegangan dengan Amerika Serikat terkait pulau Taiwan.
Laporan yang dipublikasikan sehari sebelumnya menyebutkan, “Pejabat militer China dalam beberapa bulan terakhir berulang kali menegaskan bahwa Selat Taiwan bukan perairan internasional dalam beberapa pertemuan dengan pejabat militer AS, menurut seseorang yang mengetahui keadaan tersebut.
Selat itu adalah jalur laut antara China daratan dan republik pulau Taiwan yang China klaim sebagai miliknya. Selat tersebut penting karena kapal perang Amerika Serikat rutin melewati jalur tersebut, yang menyempit hingga 100 mil, untuk memastikan jalur tersebut terbuka untuk navigasi di bawah hukum maritim.
Terkait laporan Bloomberg, Wang awalnya menegaskan klaim teritorial ortodoks China atas pulau Taiwan, dan mengklaim tidak ada dasar hukum bagi kehadirian AS di selat tersebut.
“Ini adalah klaim yang salah ketika beberapa negara tertentu menyebut Selat Taiwan sebagai ‘perairan internasional’ sebagai dalih untuk memanipulasi masalah terkait Taiwan dan mengancam kedaulatan dan keamanan China,” ujarnya.
Wang salah. Hukum internasional mendukung hak kapal asing melewati selat itu. Dan China selama bertahun-tahun menunjukkan posisi yang tidak jelas terkait masalah ini. Namun akhir-akhir ini China lebih agresif terhadap Taiwan, bahkan berulang kali menerbangkan pesawat tempur ke pulau tersebut.
Pada 2017, Liu Zhenmin, wakil luar negeri China saat itu, membenarkan pelayaran kapal AL China melalui selatan itu sebagai hal yang biasa, dan mengatakan: “Selat Taiwan adalah jalur perairan internasional yang dimiliki bersama oleh China daratan dan Taiwan.”
Komentar itu muncul setelah CNS Liaoning, kapal induk pertama China, berlajar melewati selat tersebut, sebuah langkah yang mendorong Taiwan “mengumpulkan pesawat tempur dan kapal AL untuk membuntuti kapal induk tersebut dan memonitor keadaan,” seperti yang dilaporkan oleh surat kabar milik pemerintah, China Daily.
Dua tahun kemudian, ketika kapal perang Perancis melewati selat tersebut, China awalnya menuduh Perancis “memasuki perairan China secara ilegal.” Pernyataan itu kemudian dihapus dari transkrip resmi, menurut Bonnie Glaser, yang saat itu menjabat sebagai direktur China Power Project di Washington, D.C., lembaga think tank Center for Strategic and International Studies (CSIS).
“Beijing telah menyatakan kekesalannya sebelumnya ketika AS mengirim pesawat perang melewati Selat Taiwan, jalur perairan internasional utama, tapi tidak menggambarkan pelayaran tersebut sebagai pelayaran ilegal,” tulis Financial Times saat itu.
Kini, para pengamat mengatakan penghapusan istilah “perairan internasional” oleh Beijing dan klaimnya atas “kedaulatan, hak dan yuridiksi kedaulatan,” menandakan perubahan kebijakan.
“Beijing tampaknya membuat ekplisit apa yang tadinya tersirat dalam beberapa tahun terakhir: bahwa China tidak percaya ada hak transit biasa melalui selat tersebut,” kata Greg Poling, direktur Asia Maritime Transparancy Initiative CSIS lewat Twitter.
Dalam konferensi persnya, Wang mengutip Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) untuk menegaskan bahwa selat tersebut dibagi menjadi beberapa zona, “termasuk perairan internal, laut teritorial, zona tambahan, dan Zona Ekonomi Ekslusif.”
Tapi UNCLOS, yang dikenal dengan hukum laut, bukan hanya menyatakan hal itu; UNCLOS juga mendukung klaim AS dan Taiwan bahwa selat tersebut terbuka untuk umum.
Konvensi tersebut, sebuah kesepakatan yang dibuat pada 1982 dan diterapkan pada 1994, memberikan hak kepada setiap negara pesisir “untuk menetapkan lebar laut teritorialnya, tidak lebih dari 12 mil laut,” yang diukur dari batas air rendah pantai negara tersebut. Negara-negara pesisir juga dapat mengklaim “zona ekonomi ekslusif” (ZEE) yang membentang sepanjang 200 mil laut berikutnya.
Namun, Pasal 17 undang-undang tersebut menyatakan bahwa di dalam laut teritorial suatu negara pun, “kapal dari semua negara, baik di pantai maupun bersandar di daratan, punya hak lintas damai.”
Menurut Pasal 56 undang-undang tersebut, di dalam ZEE, negara-negara pesisir punya “hak berdaulat untuk eksplorasi dan ekploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam.”
Tapi Pasal 58 menjabarkan “hak dan kewajiban negara-negara lain” di dalam ZEE. Pasal tersebut menyatakan semua negara berhak menikmati kebebasan di laut lepas, termasuk “navigasi dan penerbangan.”
Selat Taiwan punya luas sekitar 220 mil laut, sehingga sebagian besar selat tersebut berada di dalam ZEE China dan Taiwan. Meskipun UNCLOS tidak menggunakan istilah “perairan internasional,” istilah ini lazim digunakan untuk perairan yang ada di luar laut teritorial negara manapun.
Para ahli mengatakan China salah besar.
“Ini tampaknya tentang pembatasan kegiatan asing melalui ZEE, yang, tentu saja, juga ilegal,” kata Greg Poling, direktur Asia Maritime Transparency Initiative CSIS, lewat Twitter. “Hukum [internasional] tidak memberikan hak pada China untuk membatasi transit kapa lasing atau aktivitas militer di selat itu.”
“China mempunyai hak dan yuridiksi kedaulatan terkait ekonomi yang terbatas di sebagian Selat Taiwan yang merupakan ZEE-nya,” tambah Jonathan Odom, dosen militer Hukum Internasional di Marshall Center for Security Studies.
“China tidak boleh membatasi kegiatan militer asing dan transit kapal asing di perairan tersebut atau di wilayah udara di atas perairan tersebut.”
China meratifikasi hukum konvensi laut pada 1996. Amerika Serikat belum meratifikasi konvensi tersebut tapi mengakuinya sebagai hukum dan kebiasaan internasional.