Pada 13 Juni, Kepala HAM PBB, Michelle Bachelet, mengumumkan tidak akan mencalonkan diri untuk masa jabatan periode berikutnya setelah masa jabatannya berakhir pada 31 Agustus. Ia mengatakan keputusannya diambil karena alasan pribadi, meskipun kunjungannya ke China bulan lalu memicu kontroversi.
Kelompok HAM dan negara Barat mengritik Bachelet karena, seperti yang disebut France 24, “jatuh ke dalam mesin propaganda China.”
Li Jingjin, reporter jaringan televisi China Global Television Network (CGTN) yang dikendalikan pemerintah, memutarbalikkan isu ini menjadi ajang propaganda.
Li mengatakan Bachelet diberikan piihan antara berbohong untuk negara-negara Barat atau dihujat (being canceled).
“Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Bachelet, akhirnya berkunjung ke Xinjiang setelah berulang kali diminta oleh pemerintah Barat,” kata Li di akun YouTube pribadinya. “Anda pasti mengira negara barat akhirnya senang karena perjalanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen akhirnya bisa memberikan penjelasan tentang keadaan di Xinjiang. Tentu saja tidak. Mereka marah besar. Mereka minta agar dia dipecat. Kenapa? Karena setelah berkunjung ke Xinjiang dan tempat lain di China, ia tidak menemukan bukti genosida.”
Pernyataan ini salah.
Kunjungan Bachelet ke China sangat diatur, khususnya di Xinjiang, di mana Uighur dan minoritas Muslim lainnya menghadapi persekusi. Tapi kunjungan itu sejak awal bukanlah untuk tujuan investigasi.
Beijing memanfaatkan pernyataan Bachelet sebagai upaya untuk membuktikan mereka tidak bersalah atas tuduhan genosida terhadap Partai Komunis China. Hal itu, dan beberapa hal lainnya, memicu kritik terhadap kunjungan Bachelet.
Li Jingjing, a reporter for China's state-run China Global Television Network (CGTN), turned the backlash against Bachelet into yet another propaganda exercise.
Bachelet melakukan perjalanan selama enam hari ke China bulan lalu. Kunjungan tersebut akhirnya terlaksana setelah direncanakan selama empat tahun.
Pada 28 Mei, Bachelet terang-terangan menyatakan apa tujuan kunjungannya dan apa yang bukan jadi tujuan kunjungannya.
“Kunjungan ini bukan untuk investigasi – kunjungan resmi Komisioner Tinggi pada dasarnya akan mendapatkan perhatian luas dan tidak kondusif untuk melakukan pekerjaan investigatif yang detil, metodis, teliti,” ujarnya. “Kunjungan ini adalah kesempatan untuk berdiskusi secara langsung – dengan pejabat China paling senior – tentang HAM, untuk saling mendengarkan, mengutarakan kekhawatiran, mengeksplorasi dan membuka jalan untuk interaksi yang lebih bermakna di masa depan, dengan tujuan membantu China memenuhi kewajibannya di bawah hukum HAM internasional.”
Jadi tidak seperti klaim Li, keberadaan Bachelet di China bukan untuk menemukan bukti genosida.
Tapi perjalanan itu memancing kritik tajam.
Sekitar 230 kelompok advokasi HAM menuntut Bachelet untuk mengundurkan diri, dan menuduhnya “menghapus kekejaman HAM pemerintah China pada kunjungannya ke China baru-baru ini.”
Parlemen Eropa juga mengutarakan kekhawatirannya terkait kunjungan Bachelet dan hasilnya, menyesalkan “ tidak adanya akses tanpa batas dan kontrol negara yang sangat kuat di tempat interniran,” dan akibatnya menciptakan “persepsi dan penggambaran yang bias atas keadaan di China dan di Xinjiang.”
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga menyuarakan kekhawatirannya terkait “upaya Beijing membatasi dan memanipulasi kunjungan Bachelet.”
Blinken mengatakan persyaratan yang diajukan dalam kunjungan itu tidak memberikan “penilaian yang lengkap dan independen terkait keadaan HAM di Republik Rakyat China, termasuk di Xinjiang, di mana genosida dan kejahatan kemanusiaan berlangsung.”
“Komisioner Tinggi seharusnya diijinkan untuk melakukan pertemuan rahasia dengan anggota keluarga Uighur dan komunitas diaspora etnis minoritas di Xinjiang yang tidak berada di tahanan tapi dilarang keluar dari wilayah tersebut,” kata Blinken.
Pada rapat Dewan HAM PBB yang berlangsung pada 15 Juni, Bachelet mengatakan ia “tidak bisa berbicara dengan warga Uighur yang ditahan atau keluarganya dalam kunjungan tersebut.”
Blinken menambahkan Bachelet tidak diberikan akses untuk bertemu dengan orang-orang yang dikirim dari Xinjiang ke wilayah China lainnya sebagai bagian program transfer tenaga kerja, yang menurut sebuah penelitian terjadi “dalam keadaan yang paksaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Pada 24 Mei, satu hari setelah kunjungan Bachelet ke China dimulai, dokumen rahasia baru yang menyebutkan keterlibatan Beijing dalam pelanggaran HAM, yang disebut Dokumen Polisi Xinjiang (Xinjiang Police Files), terungkap.
Seperti yang dilaporkan Polygraph.info dan media lainnya, dokumen yang diretas termasuk ribuan foto orang-orang yang dipenjara di kamp interniran, dokumen pemerintah rahasia, yang membuktikan adanya kebijakan tembak mati para tahanan yang mencoba melarikan diri, dan transkrip dari pejabat Partai Komunis China “yang mengaitkan pejabat pemerintah pusat” dengan kekejaman di Xinjiang.
Bachelet tidak membahas pengungkapan Dokumen Polisi Xinjiang tersebut selama kunjungannya.
Bachelet juga dikritik habis-habisan karena terlihat menggunakan bahasa yang digunakan RRC ketika menjelaskan kebijakannya, yang diduga termasuk penahanan massal, penyiksaan, penindasan agama, kerja paksa, dan sterilisasi yang didukung negara, yang menurut beberapa pengamat masuk ke dalam kategori genosida seperti yang didefinisikan oleh PBB.
Dalam pernyataannya pada 28 Mei, Bachelet mengatakan ia “mempertanyakan dan mengutarakan kekhawatirannya tentang penerapan langkah kontra terorisme dan deradikalisasi dan penerapannya secara luas.” Ia juga mengulangi klaim Beijing bahwa sistem Pusah Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan yang mereka terapkan “telah dihentikan.”
Kelompok HAM Uighur mengatakan istilah “deradikalisasi,” “anti-terorisme” dan “pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan” meniru retorika Beijing tentang tindakan Beijing di Xinjiang, seperti yang dilaporkan RFA.
“Komisioner Tinggi telah mencoreng nama baiknya dan kantornya karena menolak menginvestigasi genosida yang dilakukan China dan menggunakan, mengulangi narasi rezim China, sehingga semakin memperkuat propaganda mereka di PBB,” kata Rushan Abbas, direktur eksekutif Campaign of Uyghurs yang berbasis di Washington, D.C. kepada RFA.
Pada 3 Juni, 33 pakar yang mempelajari kawasan Uighur, rakyat Uighur, dan isu terkait di China mempublikasikan sebuah surat terbuka kepada Bachelet terkait kunjungannya ke China.
Mereka mengatakan mereka “sangat khawatir dengan pernyataan resminya pada 28 Mei, yang mengabaikan dan bahkan bertolak belakang dengan hasil penemuan akademis dari kolega kami, termasuk dua orang yang ikut menandatangani surat ini.”
Mereka juga mengritik Bachelet karena meniru bahasa dan pesan Beijing.
“Dalam pernyatannya, Komisioner Tinggi Bachelet tidak hanya gagal mengutuk kebijakan ini, tapi menolak untuk menyebutkan semua kebijakan ini selain program interniran massal, yang ia sebut menggunakan eufemisme terbaru Beijing, ‘pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan.’ Bachelet justru meminta Beijing untuk ‘melakukan tinjauan terhadap semua kebijakan kontra-terorisme dan deradikalisasi untuk memastikan mereka sepenuhnya mematuhi standar hak asasi manusia internasional’,”menurut surat terbuka itu.
“Kata-kata Komisioner Tinggi Bachelet mengulangi klaim China bahwa kekejaman mereka di Xinjiang adalah bagian dari upaya ‘kontra-terorisme’, klaim yang terbukti keliru berdasarkan riset kami dan dokumen pemerintah China sendiri. Media pemerintah China seperti yang diduga menggunakan komentar Bachelet sebagai pembenaran.”
Para pakar menambahkan berdasarkan banyaknya bukti terkait “kekejaman di Xinjiang,” mereka mencapai “konsensus luar biasa” yang jarang terlihat di bidang akademis. Mereka mengatakan tindakan Beijing “bisa dibilang secara kredibel sebagai program genosida.”
Benedict Rogers, salah satu pendiri dan CEO Hong Kong Watch yang berbasis di Inggris, dan salah satu pendiri dan wakil ketua Komisi HAM Partai Konservatif Inggris, setuju.
“Ia meniru bahasa Beijing tentang ‘kontra-terorisme’ dan ‘deradikalisasi,’ memuji peran China dalam ‘multilateralisme,’ dan memuji pencapaian RRC dalam memberantas kemiskinan. Ia menjadi seorang idiot yang dimanfaatkan oleh Presiden China Xi Jinping,” tulis Rogers dalam majalah Foreign Policy.
Rogers menyebut bagian aspek lain dari pernyataan pers Bachelet sebagai “Orwellian.” Ia mengatkan Bachelet “memuji China karena mengusung kesetaraan gender tapi tidak mengatakan apa-apa tentang kekerasan seksual, sterilisasi paksa, aborsi paksa, perdagangan manusia, penyiksaan, kejahatan kemanusiaan, dan genosida yang terdokumentasi dan sistematik.
Amnesty Internasional juga mengritik keras Bachelet, mengatakan ia “kini hanya punya waktu dua setengah bulan untuk megatasi kegagalannya di China.
“Penolakannya untuk mengecam kejahatan kemanusiaan pemerintah China di Xinjiang, dan catatan HAM mereka yang buruk di seluruh negeri, mengkhianati korban dan penyintas yang tak terhitung banyaknya. Tanpa tindakan cepat, kegagalan Michelle Bachelet untuk menghadapi tekanan politik China akan menjadi bagian utama legasinya,” kata Sekjen Amnesty International Agnes Callamard.
Sementara itu, kelompok HAM, akademisi dan badan pemerintah menekan Bachelet untuk merilis laporan kantornya yang telah tertunda lama mengenai tuduhan “pelanggaran HAM berat” di Xinjiang. Bachelet telah mengatakan laporan itu telah selesai pada September, lalu pada Desember 2021.
Setelah mengumumkan pengunduran dirinya, Bachelet mengatakan ia sedang merevisi laporan Xinjiang itu, yang akan dirilis setelah ditunjukkan terlebih dahulu kepada pemerintah China untuk mendapatkan “komentar faktual” mereka.
Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York mengatakan berita tentang revisi laporan itu “seharusnya mendapatkan sorak sorai,” tapi justru “ditanggapi dengan skeptis dan lesu.”
HRW mengatakan “Kredibilitas Bachelet hancur setelah kunjungannya ke China yang kacau,” dan menambahkan “legasinya sebagai komisioner tinggi akan diukur dari kesediaannya untuk meminta pertanggungjawaban negara kuat seperti China.”
“Ia harus mengeluarkan laporan yang menjelaskan strategi untuk mencapai tujuan itu, dan untuk menebus kekeliruannya dengan mendengarkan, dan bukannya menghindari, orang-orang yang menjalani mimpi buruk penindasan pemerintah China,” kata HRW.