Bagi warga Palestina yang tinggal di wilayah Jalur Gaza yang padat, gelombang panas di musim kemarau yang kini hadir semakin diperparah dengan pemutusan aliran listrik hingga 10 jam per hari.
“Kipasnya sudah rusak, baterainya tidak berfungsi. Kini kami (harus) mengipas diri kami dengan nampan-nampan ini,” demikian kata Alaa Zidan yang duduk bersama suaminya di wilayah zona selatan dari Khan Younis. Sebuah kipas listrik yang berkarat menggantung tanpa bergerak di langit-langit rumahnya.
“Kami tidak bisa makan atau tidur akibat panas ini,” katanya.
Lebih dari 2,3 juta orang menjejali wilayah sempit yang terletak antara Mesir dan Israel itu. Jalur Gaza biasanya membutuhkan energi listrik sebesar 500 megawat per hari di musim panas, menurut pejabat lokal.
Kini, wilayah tersebut hanya menerima 120 megawat dari Israel, sementara pembangkit listrik milik Gaza sendiri hanya memasok 60 megawat tambahan.
Mohammad Thabit dari perusahaan listrik Gaza, pada April mengatakan dengan cuaca biasa, mereka dapat memasok energi listrik selama 20 jam per hari, tetapi kapasitas pembangkit listriknya dihadapkan pada permintaan lebih besar akibat suhu tinggi dan harga energi yang menjulang tinggi.
“Kami saat ini tidak mampu menyediakan lebih dari 10 jam energi lsitrik kepada penduduk dan lembaga publik, yang akan berdampak langsung pada semua aspek kehidupan di Gaza,” kata Thabit kepada Reuters.
Uang untuk bahan bakar yang mengoperasikan pembangkit listrik berasal dari Qatar, yang membayar $10 juta untuk membelinya dari Israel, tetapi harga bahan bakar yang naik menyebabkan perusahaan listrik lokal itu mengalami kekurangan sebesar $3 juta.
Kekurangan energi listrik berkepanjangan telah menyebabkan rasa tidak puas dengan kelompok Hamas yang berkuasa, yang telah memerintah teritori itu sejak 2007. Hamas menuduh kebijakan blokade Israel selama 15 tahun terakhir ini telah menghancurkan perekonomian Gaza. [jm/em]
Forum