Tidak mengherankan, apabila ada remaja yang hamil dan menikah dini di Yogyakarta tetap memutuskan untuk melanjutkan belajar melalui program Kejar Paket C yang setara pendidikan SMA. Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada (UGM)Dr Umi Listyaningsih, mengakui kejar paket adalah pilihan realistis karena ada tekanan psikologis di sekolah umum.
“Yogya istimewa, betul-betul istimewa. Saya pernah melakukan kajian tentang pernikahan usia dini, temen-temen yang sudah melakukan pernikahan usia dini pun ketika dia gagal di dalam keluarganya, dia kemudian bercerai dan sebagainya, dia kembali pada sekolah,” kata Umi di Yogyakarta, Jumat (16/9).
Umi menyampaikan itu ketika berbicara dalam rilis data survei Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (P3AP2) DI Yogyakarta.
Indonesia secara umum mengalami penurunan angka pernikahan usia dini. Menurut data Badan Pusat Statistik 2021, angka turun dari 10,35 persen (2020) menjadi 9,23 persen (2021). Namun, lima provinsi tetap mengalami kenaikan perkawinan di mana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 18 tahun, yaitu Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Di Yogyakarta sendiri, menurut laporan akhir kajian studi pernikahan usia anak Dinas P3AP2, pada 2019 terdapat 394 angka pernikahan usia dini, angka itu naik 200 persen pada 2020 menjadi 948, dan 2021 tercatat 757 perkawinan.
Menurut Umi, akses pendidikan bagi remaja usia sekolah yang hamil atau menikah adalah buah perjuangan panjang. Di masa lalu, biasanya siswi sekolah yang hamil atau menikah dikeluarkan dan kehilangan akses pendidikan. Namun, masalah ternyata belum selesai, karena setelah diperbolehkan kembali belajar, beban justru ada di pihak remaja bersangkutan.
“Kita bisa merasakan secara psikologis, anak-anak itu mestinya malu untuk meneruskan itu. Ini yang menjadi persoalan,” ujar Umi.
Umi sendiri pernah melakukan pendampingan bagi pelajar kelas 2 SMA yang hamil. Untuk tetap mengakses pendidikan, kalan keluar paling realistis adalah program Kejar Paket C.
“Biasanya di Kejar Paket ini, tidak sedikit temen-temen yang menjalani pernikahan usia dini, bahkan mereka bisa lulus sarjana. Ini yang menurut saya, Yogya itu istimewa. Dan ini tidak terjadi di wilayah lainnya. Ketika dia sudah terpuruk masuk di dalam pernikahan usia dini, masih mementingkan pendidikan,” tegasnya.
Terkait faktor pendorong, menurut Umi salah satunya adalah kemiskinan. Orang tua menikahkan anak sedini mungkin karena dianggap bisa mengurangi beban ekonomi keluarga. Padahal, sebenarnya yang terjadi justru sebaliknya. Selain itu, khusus untuk periode pandemi COVID 19, Umi menilai faktor kondisi sosial masyarakat juga berpengaruh. Terbukti di Yogyakarta, angkanya meningkat drastis di tengah proses belajar dari rumah.
Dinas P3AP2 DIY menggelar survei yang diketuai Dr Warih Andan Puspitosari untuk mengetahui respon masyarakat terkait konsisi dan situasi pernikahan usia dini. Survei yang melibatkan 400 responden se-DIY, dengan rentang usia 15-49 tahun ini adalah bagian dari upaya pemerintah daerah menganalisa serta menyusun rumusan kebijakan, strategi dan program untuk mengatasi pernikahan di bawah usia 19 tahun.
Para responden, kata Warih, menyebut bahwa salah satu upaya penting untuk mencegah atau menurunkan angka pernikahan usia dini, adalah melalui edukasi.
“Jadi mereka mengusulkan, supaya edukasi pencegahan pernikahan usia dini itu diberikan. Ada yang berbasis sekolah, ada yang berbasis di kelompok remaja, ada yang berbasis IT, media sosial, dalam bentuk film, dalam bentuk drama dan sebagainya,” kata Warih.
Survei ini memang tidak secara khusus mengorek seberapa jauh pendidikan seksual atau kesehatan reproduksi di sekolah saat ini, mampu menekan angka pernikahan usia dini. Namun, menurut Warih, karena mayoritas responden memandang penting adanya edukasi, bisa dimaknai bahwa masyarakat memang membutuhkan upaya ini.
“Dari data kualitatif, dari wawancara, kami memang menemukan bahwa mereka masih merasa sangat kurang dengan edukasi tentang pendidikan seks ini, secara formal di sekolah,” kata Warih.
Walaupun harus diakui, sektor pendidikan saat ini sudah mengalami kemajuan sangat berarti. Siswi sekolah dasar misalnya, telah diajarkan tentang menstruasi sehingga di usia tersebut mereka tidak asing lagi. Upaya serupa di sekolah tentu belum bisa ditemukan pada beberapa tahun lalu.
Meski tidak menelaah secara langsung, Warih juga mengakui bahwa COVID-19 kemungkinan besar berpengaruh terhadap lonjakan luar biasa anga pernikahan usia dini di Yogyakarta.
“Karena angkanya justru meningkat di 2020, di saat mereka belajar dari rumah. Mereka keluar dari sekolah, dan memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi lebih luas,” ucap Warih.
Pada 2022 ini, kehamilan merupakan alasan utama pernikahan usia dini di Yogyakarta. Data di Kabupaten Bantul misalnya, 86 persen pengajuan dispensasi pernikahan adalah karena hami, sedangka di Kulonprogo angkanya 77 persen dan di Gunungkidul 50 persen. Dua alasan lain yang dominan adalah khawatir berbuat dosa dan sudah melahirkan. [ns/ah]
Forum