“Football isn’t a game, nor a sport; it’s a religion," kata pemain sepak bola legendaris asal Argentina, Diego Armando Maradona. World Atlas menyebut, “umat” sepak bola di seluruh dunia mencapai empat miliar orang, lebih banyak dari umat agama manapun.
Tentu saja, agama yang dilekatkan dalam sepak bola bukan dalam pengertian yang sama seperti halnya agama-agama yang dianut manusia, dalam kaitannya dengan Ketuhanan. Sepak bola, disebut seolah menjadi agama karena para suporternya memiliki fanatisme yang tinggi, dan menjalankan rutinitas menonton pertandingan sebagaimana mereka rutin beribadah.
Di Indonesia, fenomena yang sama terlihat pada sejumlah klub seperti Persebaya yang terkenal dengan suporternya yang bernama Bonek, Arema dengan Aremania, Persija dan Jakmania, Persib dengan Bobotoh, atau PSS Sleman dengan Slemania. Dr. Filosa Gita Sukmono, dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhamamdiyah Yogyakarta (UMY), menyebut keberadaan lima kelompok suporter itu tak lepas dari fenomena fanatisme terhadap dunia sepak bola.
“Hari ini style-style fanatisme, bahwa sepak bola adalah agama kedua bagi para suporter-suporter yang fanatik itu benar-benar terjadi," katanya ketika ditanya VOA.
Dalam lima tahun terakhir, kata Filosa, dirinya sering mendampingi mahasiswa melakukan riset terkait suporter. Dalam proses inilah dia turut merasakan kerinduan, fanatisme dan gairah yang muncul ketika pertandingan akan dimulai.
“Saya pikir, bisa dikatakan apa yang terjadi seperti di Inggris, sepak bola sebagai agama kedua dari suporter bola. Ada nilai-nilai magis yang tidak bisa kita jelaskan, ketika bicara fanastime dalam sepak bola,” kata Filosa, yang juga Manajer di klub sepakbola PSHW UMY.
Dukungan Tanpa Syarat
Posisi sepak bola yang istimewa itu, bisa menjelaskan mengapa masyarakat begitu besar mendukung tim sepak bola, meskipun prestasinya belum maksimal. Di kancah internasional, misalnya, sepak bola kalah jauh dengan cabang olahraga bulutangkis jika bicara mengenai prestasi. Namun, puluhan ribu orang di berbagai kota rajin datang ke stadion setiap kali pertandingan digelar. Berbanding terbalik dengan tribun penonton yang sepi dalam ajang olahraga lain.
Kebanggaan dan fanatisme klub memiliki pengaruh disini, kata Filosa. Itu pula yang mendorong orang mau membeli tiket, kaos jersey asli yang mahal, dan pernak-pernik klub sebagai penguat identitas.
Dalam posisi seperti itulah, suporter sebenarnya memiliki peran penting bagi klub. Sayangnya, tambah Filosa, baru sedikit klub yang mengelola suporternya dengan baik, dan menjadikan mereka sebagai bagian dari upaya mengembangkan klub. Padahal potensinya luar biasa.
“Saya sering datang ke distro yang menjual jersey asli klub. Ketika membeli, di situ disertakan ucapan terima kasih karena sudah mendukung klub, sebagai bentuk penghargaan. Tetapi belum banyak yang melakukan itu,” ujar Filosa, yang juga menjadi kepala sekolah sepak bola di Yogyakarta.
Di banyak klub, kata dia, suporter masih diposisikan sekadar sebagai pembeli tiket yang meramaikan stadion. Suporter belum memiliki kesempatan bersama manajemen untuk membesarkan klub yang didukungnya. Padahal, basis suporter yang jelas sebenarnya bisa dimanfaatkan klub, misalnya untuk menggaet sponsor.
“Ketika suporter menjadi bagian dari industri sepak bola, suporter punya nilai tawar dengan klub. Dia menjadi bagian dari bagaimana perkembangan klub itu. Sedangkan sampai hari ini, dari perspektif keilmuan, suporter hanya menjadi komoditi, masih dijadikan sebagai pemasukkan dari klub saja,” papar Filosa.
Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada sekaligus pengamat sepak bola, Dr Hempri Suyatna, setuju soal fanatisme luar biasa suporter dari klub-klub dengan basis massa kuat, seperti Arema, Persebaya, Persija, Persib, dan PSS.
“Bahkan banyak pemain-pemain asing atau lokal, memilih klub yang punya basis massa kuat, dan mereka suka bermain di Indonesia karena atmosfer suporter yang luar biasa,” ucapnya.
Dalam skala lebih luas, fanatisme suporter sepak bola Indonesia bahkan bisa dimanfaatkan sebagai sarana menguatkan nasionalisme.
Terkait apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada pekan lalu, Hempri menilai ada momentum yang bisa dimanfaatkan terkait hubungan klub dan suporter.
“Momentum ini harus terus dijaga oleh PSSI, klub maupun kelompok suporter sendiri sehingga menjadi energi yang luar biasa bagi pengembangan industri sepakbola Indonesia,” ujarnya kepada VOA.
Klub dan suporter, lanjut dia, adalah satu kesatuan sehingga interaksi dan komunikasi keduanya menjadi penting.
“Ruang-ruang dialog dan komunikasi klub baik secara informal, maupun formal perlu dibangun secara intens,” tambahnya lagi.
Hempri mengingatkan, bagi suporter, sepak bola adalah harga diri dan martabat daerah atau bangsa. Membangun sepak bola harus dilakukan antara lain dengan memahami karakteristik suporter sepak bola itu sendiri sebagai bahan pola pengasuhan, penanganan dan pengamanan.
Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian berbagai pihak, kata Hempri. Pertama, edukasi suporter dan pendekatan-pendekatan persuasif menjadi hal yang harus diutamakan. Kedua, perbaikan fasilitas infrastruktur pendukung bagi suporter menjadi keharusan.
“Bagaimana membangun stadion ramah anak, stadion ramah perempuan, stadion ramah Lansia dan sebagainya. Hal-hal semacam itu perlu dilakukan dan harus dikedepankan,” imbuhnya.
Sejarah Panjang Suporter-Klub
Salah satu klub bola tua di Indonesia adalah Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM) di Yogyakarta, yang berdiri 5 September 1929. Awalnya, bernama Perserikatan Sepakraga Mataram, yang mengacu pada nama kerajaan di kota tersebut.
Dalam usia hampir seratus tahun, lika-liku hubungan klub dan suporter terekam melalui sejumlah dokumentasi. Bawahskor, yang dimotori oleh Dimaz Maulana, adalah komunitas sekaligus badan usaha yang digerakkan suporter setia klub ini, dan secara khusus memberi perhatian terhadap sejarah klub.
Dalam sejarahnya, menurut Dimaz, suporter memang tidak memiliki pengaruh langsung terjadap klub. Namun, pada titik tertentu, suaranya kadang didengar.
“Di poin ini agak tricky. Artinya suporter tidak punya peran yang sangat vital untuk menentukan arah. Tetapi di poin bagaimana gelombang demo, keresahan, atau ketidakpuasan atas pelatih atau situasi tim, misalnya ketika pelatih PSIM Imran Nahumarury dipecat, itu juga setelah ada desakan dua atau tiga kali,” papar Dimaz ketika dihubungi VOA.
“Jadi, aku bisa menyebut mereka mendengar, tapi butuh kayak semacam ditekan, butuh diberikan highlight, bahwa ini harus segera dilakukan karena situasi. Saya bisa menyebut, bahwa memang mereka bisa mendengar, tapi ya harus di-slentik (disentil -red) kalau bahasa Jawanya,” lanjut Dimaz.
Suporter sepak bola bukan hanya penonton di tribun. Bawahskor misalnya, melakukan cukup banyak pekerjaan untuk PSIM. Berawal dari clothing brand pada 2010, dalam tiga tahun Bawahskor bertransformasi menjadi gerakan pengarsipan bagi klub. Mereka juga aktif menggelar diskusi, pameran, pemutaran film, hingga tur stadion.
Pada 2014 Bawahskor merilis buku bersama Andy Fuller, The Struggle for Soccer in Indonesia. Berturut-turut kemudian pameran bertema sepak bola Genealogy of Hope: Suratin '92 (2015), OBA: Open Bawahskor (2015), This is Away (2018), Afirmasi Krisis (2021). Belum lama ini, Bawahskor terlibat aktif dalam mengagas Museum of Laskar Mataram untuk mewujudkan museum alternatif PSIM ketika menginjak satu abad pada 2029 nanti.
Secara umum, Dimaz bercerita bahwa organisasi suporter juga berperan misalnya dalam koordinasi penjualan tiket. Sejumlah pengurus suporter lambat laun juga ada yang kemudian masuk ke dalam manajemen klub, bahkan menjadi pengurus PSSI. Karena itulah, suporter mestinya memiliki posisi tawar lebih kepada klub, dan itu harus ditawarkan oleh klub itu sendiri.
Pelajaran dari Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan menjadi pelajaran penting bagi Indonesia terkait bagaimana posisi suporter dalam ekosistem sepak bola. Hari Kamis, 6 Oktober 2022, sekitar 30 perwakilan suporter bertemu dengan pejabat Kemenkopolhukam dan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kanjuruhan di Jakarta. Suara suporter, nampaknya memiliki tempat setelah insiden yang membuat lebih dari 130 suporter meninggal di Stadion Kanjuruhan, Malang.
“Sangat banyak sekali, uneg-uneg yang disampaikan teman-teman suporter dan masukan-masukan yang akhirnya nanti akan kita diskusikan dengan tim, dan menjadi bahan evaluasi kita, sebelum mendapatkan satu kesimpulan yang akan kita umumkan pada saatnya nanti,” kata Kurniawan Dwi Yulianto, mantan pemain nasional yang ikut dalam TGIPF.
Sementara anggota TGIPF yang lain, Akmal Marhali, menyebut para suporter menyampaikan pemikiran-pemikiran mereka dalam upaya menyelamatkan sepak bola Indonesia.
“Kita berharap, ke depan suporter menjadi pahlawan penyelamatan sepak bola Indonesia. Karena itu tim pencari fakta dengan sangat terbuka akan selalu menerima masukan, saran, dan kritik dalam rangka melakukan invetigasi kasus, sekaligus dalam rangka menyusun langkah-langkah terbaik dalam membangun sistem baru sepak bola Indonesia ke depannya,” ujaf Akmal.
“Kami sudah sampaikan semua hal, kehendak, keinginan suporter se-Indonesia tentang perubahan sejati sepak bola nasional,” ucap Andie Peci dari Bonek, organisasi suporter Persebaya, Surabaya. [ns/ah]
Forum