Dalam sejarahnya, Indonesia telah tiga kali menjadi Ketua ASEAN dan berhasil menunjukkan peran besar dalam mendorong berbagai perbahan mendasar. Di antaranya adalah pencapain stabilitas keamanan kawasan dan pembentukan komunitas regional. Tentu saja, tahun depan tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023, akan berbeda.
Tim Kajian ASEAN, dari Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menyusun naskah kebijakan yang bisa dipakai Indonesia dalam memimpin ASEAN. Khanisa, koordinator tim ini memaparkan tiga fokus penting dalam laporan mereka.
“Naskah kebijakan ini merumuskan tiga hal penting untuk difokuskan dalam mengoptimalkan keketuaan Indonesia di ASEAN, yaitu penguatan sentralitas, penjagaan relevansi dan peningkatan soliditas organisasi regional ini,” kata Khanisa, dalam diskusi sekaligus peluncuran naskah kebijakan itu, Kamis (13/10).
Secara rinci, penguatan sentralitas harus difokuskan pada tantangan dinamika eksternal di kawasan yang mempengaruhi ASEAN. Bayang-bayang terbesar, ujar Khanisa, adalah rivalitas Amerika Serikat (AS) dan China.
“Pertarungan antara dua kekuatan besar ini berpotensi memecah dunia menjadi kubu-kubu berseberangan, yang akhirnya dapat mempengaruhi kerekatan diantara negara-negara, khususnya negara anggota ASEAN,” kata Khanisa.
Secara khusus dokumen BRIN ini menggarisbawahi konflik Laut China Selatan yang menjadi arena pertarungan kedua negara besar itu.
Poin kedua, adalah penjagaan relevansi dimana ASEAN harus merancang kerangka kerja sama yang mengikuti perkembangan zaman, sekaligus memastikan terjaganya kepentingan regional, yang menguntungkan bagi negara-negara anggotanya. ASEAN Outlook on the Indo-Pacific adalah respons ASEAN terhadap dinamika di kawasan Indo Pasifik.
Ketiga, dalam hal soliditas internal, harus disadari bahwa dinamika konflik internal ASEAN seringkali mendorong perpecahan.
“Pada naskah kebijakan ini, secara khusus kami membahas mengenai Myanmar dan konflik internalnya yang kerap kali menjadi tantangan bagi soliditas ASEAN,” tandas Khanisa.
Tim Kajian ASEAN dari BRIN merekomendasikan lima langkah penting bagi Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023. Pertama, Indonesia harus mendorong ASEAN mengadakan dialog konstruktif dengan AS dan China, untuk merespons persoalan kawasan. Kedua, Indonesia harus memastikan kemajuan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific dan agenda ASEAN lainnya.
Ketiga, indonesia harus mendorong penguatan dan perbaikan mekanisme institusional ASEAN. Keempat Indonesia harus bersikap tegas melanjutkan komitmen ASEAN untuk melaksanakan lima poin konsensus persoalan Myanmar. Kelima, Indonesia harus mengambil momentum keketuaannya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang ASEAN.
Posisi Indonesia di Kawasan
Indonesia tentu saja harus memilih posisi yang tepat, di tengah perang pengaruh kekuatan besar semacam ini. Guru Besar Politik Internasional, Universitas Pelita Harapan (UPH) Prof Aleksius Jemadu meyakini Indonesia lebih memilih narasi interdependensi ekonomi, tanpa mengabaikan narasi kontestasi kekuatan negara besar.
“Kawasan Indo Pasifik mencakup sebagian besar perdagangan dan investasi Indonesia, kepentingan strategis kita ada di situ,” ujar Aleksius.
Indonesia terlibat dalam semua lembagaan kerja sama ekonomi di kawasan, kata Aleksius. Misalnya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), ASEAN China Free Trade Agreement, Belt and Road Initiative, dan ASEAN Infrastructure Investment Bank.
“Kita menjadi bagian dari jejaring itu dan kita lihat pemerintah kita saat ini memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur seperti yang selalu didengungkannya,” ujar Aleksius memberi alasan.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa interdependensi ekonomi penting bagi Indonesia. Pertama, ada peluang perdagangan dan investasi dari China, AS, Jepang dan India. Indonesia tentu ingin memanfaatkan seluruh keuntungan yang bisa diperoleh dari negara-negara besar tersebut. Kedua, kapabilitas militer Indonesia tidak cukup untuk menjalankan strategi konfrontatif terhadap negara besar. Sementara alasan ketiga adalah karena memang Indonesia menganut prinsip politik bebas aktif dalam kebijakan luar negeri.
China, kata Aleksius, diperkirakan akan mendukung narasi interdependensi ekonomi itu. China akan mempertahankan dominan ekonomi sebagai basis keunggulannya sambil membangun militernya.
“Kita belajar dari sejarah, setiap negara besar, ketika mempunyai kepentingan ekonomi global, langkah berikutnya dia pasti memikirkan perlindungan militer. Apa yang harus dikerjakan untuk melindungi kepentingan global, dan saya pikir China juga akan memikirkan hal yang sama di kawasan ini,” tegasnya.
Mengenai kaitannya dengan kawasan Indo Pasifik, Aleksiun mengatakan bahwa China tentu mengakui pentingnya peran ASEAN. China juga mendukung ide kerjas ama inklusif karena jejaring perdagangan dan investasi yang telah didominasi. Negara itu memiliki instrumen pasar, investasi, pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan oleh semua negara ASEAN, termasuk Indonesia. Selain itu China memerlukan legitimasi sosial sebagai kekuatan global dan itu dimulai dari ASEAN.
Myanmar Jadi Perhatian
Sementara itu, Abdullah Zulkifli, Asisten Deputi Kerja Sama ASEAN Kemenko Polhukam mengatakan salah satu tema penting bagi Indonesia dalam memimpin ASEAN tahun depan adalah Myanmar.
“Kelihatannya makin berbeda antara Myanmar dan ASEAN. Sehingga pada akhir Oktober nanti, sebagai tindak lanjut dari pertemuan Menlu ASEAN, akan ada pertemuan di Jakarta membahas bagaimana tindakan berikutnya untuk Myanmar,” kata Zulkifli.
Kebijakan yang diambil Myanmar saat ini, lanjut dia, sebenarnya sudah bisa menggambarkan bagaimana bagaimana keputusan ASEAN ke depan.
Masalah lain adalah Laut China Selatan, di mana perundingan terus dilakukan khususnya membahas draf kesepakatan bersama.
itu sudah mencapai 50 persen, yang dihasilkan adalah solusi yang efektif bisa digunakan dan bermanfaat. Dalam artian, tidak hanya bisa meredakan ketegangan, tetapi juga bisa meningkatkan kerja sama ekonomi yang membawa pada kesejahteraan,” tambah Zulkifli.
Kondisi sejumlah negara anggota ASEAN yang butuh pencermatan, terutama karena sejumlah negara berada dalam periode transisi kekuasaan tahun depan. Kamboja, Thailand, dan Indonesia, kata Zulkifli, akan berada dalam situasi yang sama. Begitu juga dengan Malaysia yang baru saja membubarkan parlemennya. [ns/ab]
Forum