Pengamat hubungan internasional dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Agus Haryanto tidak memberi nilai penuh untuk prestasi Indonesia dalam penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
“Dengan segala keterbatasan dan situasi politik global, saya kira yang dilakukan pemerintah kita, ya saya anggap berhasil. Kalau nilai dari satu sampai 10, ya delapan setengah,” kata Agus ketika berbicara kepada VOA.
Yang membuat angkanya tidak utuh sepuluh, menurut Agus, adalah karena perwakilan Rusia, dalam hal ini Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, yang tidak hadir ketika deklarasi pemimpin G20 dibacakan.
“Saya kira, orang menunggu-nunggu dengan kemampuan kita, bisa enggak membujuk Rusia untuk ikut di dalam kesepakatan di G20 sampai akhir. Walaupun mungkin dia tidak sepakat terhadap konsensus yang keluar di G20, tapi paling enggak dia ikut mendengarkan,” tambah Agus.
“Kalau itu terjadi, saya kira akan menjadi capaian yang luar biasa. Paling enggak Rusia mau mendengarkan apa yang disepakati para pemimpin dunia di G20,” ujarnya lagi.
Ketika Presiden Joko Widodo menutup dan membacakan Bali G20 Leaders Declaration, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov memang telah meninggalkan Bali. Beberapa jam sebelumnya, terjadi insiden jatuhnya rudal di Polandia, yang menghembuskan peran Rusia dalam peristiwa itu. Pimpinan G7 dan NATO sempat menggelar pertemuan darurat menyikapi insiden tersebut.
Belakangan, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan sejumlah pemimpin G7 lainnya, menafikan peran Rusia dalam insiden tersebut. Namun, situasi sudah terlanjur memanas, dan diyakini semakin mendorong Rusia untuk menarik diri dari forum G20 sebelum rangkaian pertemuan selesai.
Indonesia, kata Agus, dapat mengusulkan suatu pernyataan yang sifatnya lebih netral. Salah satunya adalah dengan menghindari penyebutan Rusia atau Ukraina dalam setiap pernyataan itu. Memilih frasa mengutuk perang, katanya, tentu berbeda tekanannya dengan mengutuk perang di Ukraina. Meskipun, menurut pandangan Agus, pilihan kata ini juga berisiko karena harus tetap mempertimbangkan reaksi pemimpin negara lain, seperti AS misalnya.
Namun, apapun yang sudah terjadi, menurut Agus, Indonesia sudah cukup berhasil memimpin G20 sepanjang 2022.
“Sejauh pengamatan saya, Pak Jokowi berhasil untuk mengingatkan para pemimpin dunia bahwa pertemuan G20 itu tidak sekedar pertemuan seremonial. Dengan penandatanganan deklarasi, Pak Jokowi berhasil membawa pertemuan tersebut lebih maju dari pertemuan sebelumnya, dan melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk dunia,” ujar Agus.
Cukup Berhasil
Sementara, pengamat hubungan internasional dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Marten Hanura, menilai dari sisi penyelenggaraan, sebagai tuan rumah Indonesia cukup berhasil.
“Tetapi yang perlu diperhatikan lagi, adalah impactnya untuk masyarakat. Terutama masyarakat bawah, dari hasil G20 ini apakah bisa berdampak nantinya,” kata Marten kepada VOA.
KTT G20, kata Marten, banyak menghasilkan komitmen kerja sama. Sebut saja, pandemic fund, komitmen transisi energi untuk kebijakan yang lebih ramah lingkungan, hingga ekonomi digital. Semua itu, ujarnya, harus dipastikan ke depannya betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
“Misalnya kalau kita berbicara mengenai transformasi digital, apakah UMKM, pebisnis kecil, masyarakat bawah itu dengan baik bisa memanfaatkan transformasi digital untuk bisa mengembangkan usahanya? itu yang perlu kita kawal,” tambah Marten.
Sepanjang Presidensi G20 di 2022, Indonesia menampilkan kepiawaian diplomasi yang tidak perlu diragukan. Keraguan banyak pihak terkait deklarasi akhir, yang kemudian dijawab dengan Bali G20 Leaders Declaration, kata Marten adalah pencapaian yang tidak terduga.
“Kita bisa meyakinkan ke banyak negara, bahwa posisi Indonesia sendiri tidak memiliki kepentingan apapun dan berusaha untuk menggolkan tujuan yang ingin dicapai untuk kepentingan global internasional,” tambah Marten.
Dalam posisi semacam ini, katanya, selain kepiawaian diplomasi, faktor kepercayaan dari negara-negara G20 terhadap Indonesia, juga menjadi penentu.
Rusia termasuk negara yang memberikan kepercayaan cukup besar kepada Indonesia. Kehadiran delegasi mereka, di tengah potensi perlakuan mayoritas negara anggota G20 yang menyudutkannya, menjadi bukti sikap Moskow itu. Di sisi lain, fakta bahwa persoalan geopolitik -- terutama perang Rusia-Ukraina -- cukup dominan mewarnai KTT G20, nampaknya memang tidak bisa dihindari.
Para pemimpin dunia sadar bahwa situasi geopolitik menentukan kestabilan ekonomi. Karena itulah, sepanjang penyelenggaraan G20, perang menjadi bahan perdebatan karena dinilai merusak ekonomi dunia itu sendiri.
“Sehingga, kalau kita melihat isi deklarasi itu juga menyinggung persoalan geopolitik, pertahanan, keamanan, saya kira itu sah saja. Karena secara tidak langsung, hal-hal yang berkaitan dengan geopolitik dan pertahanan, keamanan, itu juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,” tandas Marten. [ns/ah]
Forum