Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) kembali digelar untuk kedua kalinya di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah. Eksistensi ulama perempuan Indonesia menginspirasi aktivis dan organisasi perempuan Islam dari seluruh dunia, untuk bersama-sama merebut tafsir.
Menjadi aktivis perempuan muslim di Malaysia, tidak membuat Rozana Isa mudah beraktivitas. Organisasinya, Sisters in Islam, bahkan dinilai sesat oleh otoritas agama negara itu, karena mengangkat liberalisme dan religius pluralisme, kata Rozana.
Rozana hadir dalam KUPI II kali ini, karena dia menganggap gerakan ini sangat penting, untuk mendukung perjuangannya selama puluhan tahun.
“Kekangan kita, adalah apabila kita berhadapan dengan isu agama dan interpretasi yang tidak memajukan, ataupun tidak mengikuti perkembangan realiti kehidupan perempuan,” kata Rozana.
Rozana berbicara kepada media di sela konferensi internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Rabu (23/11). Konferensi ini merupakan bagian dari KUPI II, yang akan digelar di Pondok Pesantren Hasyim Ashari, Bangsri, Jepara, 24-26 November 2022.11.23
Rozana menyebut, banyak intrepetasi keagamaan dalam Islam yang tidak tertaut dengan kehidupan nyata kaum perempuan. Dari sanalah, perasaan ketidakadilan muncul, apalagi pengalamannya di Malaysia menunjukkan, otoritas keagamaan terlalu kaku pada teks.
Hadir di KUPI, kata Rozana meyakinkan dia bahwa ada banyak rekan perjuangan sesama ulama perempuan.
“Berada di sini, kami tidak merasa keseorangan. Melihat ada teman-teman lain yang boleh bertukar pikiran, bertukar pengalaman dan saling mendapat dukungan,” ucapnya.
Tanggapan senada disampaikan Qutub Jahan Kidwai, pimpinan dari Network for Education, Empowerment, Development and Awareness (NEEDA), India. Dia mengatakan, KUPI memberikan dorongan moral bagi dirinya karena apa yang dibicarakan, akan berdampak bagi perempuan di berbagai belahan dunia.
Dia mengakui, muslimah di wilayah Asia Selatan menghadapi semacam stagnasi dalam perjuangan mereka menyetarakan hak dalam perspektif Islam. Narasi KUPI dia yakini akan memperkuat hak-hak perempuan muslim dan memunculkan kembali kebenaran literatur Islam yang tersembunyi selama berabad-abad.
“Semua perempuan Muslim sedang menghadapi begitu banyak isu lintas sektor, yang muncul dari persoalan pernikahan anak usia dini, perceraian, berbagai macam praktik adat seperti mutilasi alat kelamin perempuan,” ujarnya.
Persoalan-persoalan itu, harus diselesaikan dalam perspektif Islam, dan KUPI kata Jahan, akan berkontribusi dalam mencari jalan keluar.
Berbicara dalam kesempatan yang sama, Fatima Seedat Ph D, Kepala Departemen Studi Feminis Afrika di Universitas Cape Town, Afrika Selatan, mengupas bagaimana beratnya perjuangan perempuan muslim di seluruh dunia. Perjuangan itu antara lain dalam mengakses otoritas keagamaan dan akses terhadap hak kesehatan seksual dan reproduksi.
“Baik itu kesetaraan dalam pernikahan, perceraian, hukum waris, perencanaan kehamilan, atau akses ke pengadilan. Perempuan berharap keadilan dalam etika dan hukum Islam dan etika, dan yang sering mereka dapatkan adalah rasa ketidakadilan yang mendalam,” kata Fatima.
Dia menyebut fakta itu sebagai jarak antara harapan pada keadilan dan pengalaman menerima ketidakadilan. Kondisi ini lahir dari sifat patriarkis dari otoritas keagamaan. Karena itulah, Fatima menilai KUPI sangat strategis karena kemampuannya untuk merebut otoritas keagamaan.
“Untuk mengklaim gelar ulama bagi diri Anda, ketika arus utama masyarakat menolak memberi gelar ini. Itu adalah sebuah prestasi, sebuah keberanian,” ujar Fatima.
Pembukaan KUPI II
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II kali ini dibuka dengan konferensi internasional ulama perempuan. Setidaknya 400 orang dari 31 negara hadir di Auditorium Kampus UIN Walisongo Semarang, Rabu (23/11).
Berbicara secara daring, Wakil Presiden KH Maruf Amin membuka KUPI II dengan pengakuan perempuan menjadi benteng pertama dalam menangkal paham radikalisme.
“Saya berharap dengan KUPI, ulama perempuan lebih militan dalam menangkal konten yang kontraproduktif bagi perempuan. Melalui KUPI II ulama perempuan meneguhkan perannya dalam membangun peradaban yang adil sesuai yang dicita-citakan Islam,” kata Wapres.
Maruf Amin juga berharap, KUPI II melahirkan pemikiran-pemikiran berperspektif perempuan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik.
Peserta KUPI II kali ini datang dari 31 negara, seperti Afghanistan, Australia, Belgia, Burundi, Mesir, Prancis, Jerman, Hongkong, India, Irak, Jepang, Kenya, Malaysia, Belanda, Nigeria, Pakistan, Filipina, Puerto Riko, Rusia, Singapura, Slowakia, Afrika Selatan, Sri Langka, Swedia, Suriah, Thailand, Mauritania, Uganda, Inggris, dan Amerika Serikat.
Konferensi Internasional yang berlangsung sepanjang Rabu, terdiri dari dua sidang pleno dan enam sidang paralel. Berbagai isu dibahas, seperti ekonomi hijau, perlindungan bagi perempuan pembela HAM, dan praktik baik pelibatan laki-laki dalam perlindungan perempuan. Setelah konferensi, peserta akan berpindah ke Pondok Pesantren Hasyim Ashari, Bangsri Jepara selama 24-26 November 2022 untuk mengikuti seluruh rangkaian acara KUPI II.
Meneguhkan Peran KUPI
Dwi Rubiyanti Kholifah, Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) menyebut, KUPI penting karena persoalan yang dihadapi perempuan tidak bisa dipisahkan berbasis geografis. Karena itulah, inisiatif KUPI di Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, demokratis, dan memiliki ruang partisipasi kuat, menjadi sangat penting.
“Satu hal yang menjadi hambatan, mengapa kita sulit mencapai kesetaraan gender, selain karena adanya praktek budaya yang masih menghalangi perempuan, juga bertebarannya tafsir agama yang masih sangat konservatif,” ujar Ruby.
KUPI, kata Ruby, menawarkan tafsir yang menciptakan penerimaan kuat di masyarakat dan memberikan rasa percaya diri tentang ajaran Islam.
“KUPI sudah melewati banyak sekali upaya untuk membangun kolaborasi lintas aktor sekaligus menawarkan narasi yang manusiawi, karena memang berbasis kepada pengalaman perempuan,” tandasnya.
Sementara Nyai Hj. Badriyah Fayumi Lc MA, dari Majelis Musyawarah KUPI memaparkan, KUPI yang menggelar kongres pertama di Cirebon pada 2017 lalu, memiliki tantangan yang berbeda dengan saat ini. Lima tahun pertama ini, perjuangan KUPI ada di ranah meneguhkan eksistensi. Bahkan istilah ulama perempuan saja belum populer digunakan di Indonesia.
“Jadi, konsentrasi kita pada lima tahun yang lalu adalah bagaimana ulama perempuan itu diakui, direkognisi, dari yang tidak terpikirkan karena yang terpikirkan kalau menyebut kata ulama itu laki-laki, menjadi ada ulama perempuan,” ujarnya.
Saat ini, rekognisi telah tercapai meskipun belum bisa dianggap selesai. Pengakuan secara nasional telah diterima KUPI, tergambar dari perannya yang diakui berbagai forum nasional dan internasional. Karena itulah, KUPI II saat ini tidak akan lagi bicara soal eksistensi, tetapi membahas peran.
“Peran untuk apa? Peran untuk peradaban yang berkeadilan. Dengan cara apa? dengan cara ulama perempuan bekerja, berkarya, berkhidmah di ruang khidmah masing-masing. Di perguruan tinggi, di pesantren, di majelis taklim, di ormas, di pemerintahan, dan di berbagai tempat yang lainnya, untuk mewujudkan peradaban yang berkeadilan,” kata Badriyah. [ns/ab]
Forum