Polisi China berpatroli di Ibu Kota, Beijing, serta kota terbesar sekaligus pusat keuangan China, Shanghai, pada Selasa (29/11). Mereka berupaya mencegah kemunculan kembali protes-protes menentang restriksi COVID-19 negara itu yang juga disertai seruan agar Presiden Xi Jinping mundur.
Kedua kota itu sepi semalam. Polisi keluar dengan kekuatan penuh di sana, khususnya di daerah-daerah yang disarankan sebagai tempat pertemuan baru oleh para pengguna media sosial.
Pemerintah China melonggarkan sebagian dari peraturan pandeminya pada Senin (28/11), tetapi juga sekaligus mengukuhkan komitmennya terhadap strategi nol-COVID.
Pemerintah tidak menyebut-nyebut soal demonstrasi yang merupakan unjuk tentangan terbesar dalam beberapa dekade ini terhadap Partai Komunis yang berkuasa. Namun, sedikit pelonggaran peraturan itu tampaknya dimaksudkan untuk memadamkan demonstrasi.
Kebijakan nol-COVID XI telah membatasi penularan secara tajam dengan cara lockdown ketat yang telah mengganggu kehidupan sehari-hari di negara berpenduduk 1,4 miliar itu. Protes yang bermunculan di berbagai lokasi China tampaknya mengindikasikan bahwa banyak warga yang telah bosan dengan karantina berkepanjangan dan tes yang meluas.
Seorang warga Shanghai yang turut dalam protes di kota itu mengatakan kepada VOA bahwa pada awal lockdown, orang melihat tindakan pemerintah itu rasional, tetapi perasaan itu berubah ketika pembatasan terus diberlakukan.
“Sebagai misal, mereka memberitahu kami jumlah hari lockdown. Semula mereka bilang tiga hari. Setelah itu, tiga hari lagi, lalu tiga hari lagi. Baru pada bulan Mei orang benar-benar menyadari bahwa ini tidak rasional, tidak normal,” katanya.
Daniel Russel, Wakil Presiden Bidang Keamanan Internasional dan Diplomasi di Asia Society Policy Institute dan mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS urusan Asia Timur dan Pasifik, mengatakan kepada VOA bahwa protes-protes itu signifikan karena melibatkan orang-orang dari banyak kota dan dari berbagai lapisan masyarakat yang jumlahnya melampaui demonstrasi awal. Semula demonstrasi itu merupakan tanggapan atas kebakaran maut di wilayah Xinjiang, China Barat, untuk memprotes strategi nol-COVID dan partai yang berkuasa di negara itu.
“Ini menunjukkan bahwa nol-COVID menciptakan pengalaman negatif yang dirasakan bersama mengenai kontrol Partai yang ketat dan mengganggu, yang mempersatukan orang-orang melewati batas-batas geografis dan sosial ekonomi,” kata Russel melalui email.
Pihak berwenang mengatakan kebakaran di Kota Urumqi pekan lalu menewaskan 10 orang.
Seorang saksi mata dalam kebakaran itu Senin mengatakan kepada VOA bahwa para petugas pemadam mengalami kesulitan memasuki bangunan karena kebijakan anti-COVID pemerintah.
Pemerintah China membantah tentang kesulitan itu dan menuduh ada “kekuatan-kekuatan dengan motif tersembunyi” karena mengaitkan kebakaran itu dengan peraturan COVID-19. [uh/ab]
Forum