Partai Komunis China, partai penguasa di negara itu, bertekad akan menindak tegas aksi unjuk rasa menentang kebijakan pembatasan ketat COVID-19, bahkan ketika polisi telah bentrok dengan para pengunjuk rasa di Kota Guangzhou di China selatan dalam rangkaian konfrontasi terbaru di seantero negara itu.
Pemerintah China pada Selasa malam mengatakan pihaknya akan “menindak tegas kegiatan infiltrasi dan sabotase oleh perusuh.” Pernyataan dari Komisi Sentral Urusan Politik dan Hukum itu tidak secara langsung menyebut aksi unjuk rasa yang terjadi di sedikitnya 15 kota, termasuk Ibu Kota, Beijing, dan kota pusat keuangan, Shanghai. Namun, hal itu memperjelas niat pemerintah untuk menegakkan aturannya.
Dalam video-video yang beredar di media sosial, aparat keamanan tampak mengenakan baju APD sambil membawa tameng ketika berpatroli di jalanan Kota Guangzhou, pusat manufaktur yang menampung banyak pekerja migran.
Sementara di Beijing, pada Rabu, ratusan mobil SUV, van dan kendaraan lapis baja dengan lampu strobo diparkir berjejer di jalanan. Polisi dan pasukan paramiliter melakukan pemeriksaan kartu identitas secara acak dan menggeledah telepon genggam warga untuk mencari foto, aplikasi terlarang atau barang bukti lainnya yang menunjukkan bahwa mereka terlibat rangkaian unjuk rasa dalam beberapa hari terakhir untuk menentang kebijakan “nol-COVID” pemerintah.
Video-video lain menunjukkan polisi menangkap sejumlah pengunjuk rasa di kota-kota besar. Beberapa dari mereka tampak berunjuk rasa dalam diam, seringkali sambil mengangkat selembar kertas putih kosong sebagai pernyataan menentang minimnya kebebasan berpendapat di China, sementara yang lain mengejek pihak berwenang. Jumlah dan nasib orang-orang yang ditangkap belum diketahui.
Beberapa pengunjuk rasa telah menuntut pengunduran diri Presiden Xi Jinping, yang pada Oktober lalu terpilih kembali sebagai pemimpin Partai Komunis untuk masa jabatan ketiga selama lima tahun ke depan. Pemerintahnya berpendapat bahwa pembatasan COVID-19, termasuk tindakan menutup kota dan wilayah, telah menyelamatkan banyak nyawa.
Namun, banyak warga China yang marah akibat dampak kebijakan itu terhadap kehidupan mereka. Video rekaman unjuk rasa telah banyak beredar di media sosial sebelum disensor pemerintah, sementara media pemerintah China sebagian besar tidak memberitakan demonstrasi tersebut.
Pemberitaan media pemerintah pada Rabu malam justru didominasi oleh berita mengenai kematian mantan presiden dan pemimpin Partai Komunis Jiang Zemin pada usia 96 tahun. Ia memimpin China persis sebelum penumpasan berdarah gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa pada tahun 1989, yang berpusat di Lapangan Tiananmen Beijing, hingga kemudian memimpin era pertumbuhan cepat ekonomi China selama tahun 1990-an dan awal 2000-an.
Pernyataan Komisi Sentral Urusan Politik dan Hukum mengatakan, China “harus menindak tegas kegiatan infiltrasi dan sabotase oleh perusuh sesuai dengan hukum, menindak tegas aksi-aksi ilegal dan kriminal yang mengganggu tatanan sosial dan secara efektif menjaga stabilitas sosial secara keseluruhan.”
Xi Jinping maupun partainya belum mengomentari secara langsung gelombang unjuk rasa dan gangguan terhadap kegiatan rutin masyarakat akibat kebijakan pembatasan COVID-19 yang diberlakukan pemerintahnya. Gelombang demonstrasi telah menyebar ke kampus-kampus perguruan tinggi dan kota semi-otonom Hong Kong, serta memicu simpati negara-negara lain.
Pemerintah China sebelumnya menyalahkan gelombang unjuk rasa itu pada “pasukan musuh asing” yang tidak dikenal. Dengan semakin meningkatnya aksi unjuk rasa dalam beberapa hari terakhir, sejumlah kota di China telah melonggarkan beberapa pembatasan.
Kebijakan nol-COVID telah membantu China meredam jumlah kasus COVID-19 dibandingkan di AS dan negara-negara besar lainnya. Akan tetapi, para pemimpin kesehatan dan ekonomi dunia menyebut kebijakan itu tidak berkelanjutan dan mendesak China untuk menerapkan pendekatan yang lebih terarah untuk mengendalikan pandemi. China menolak nasihat itu dan menyebutnya sebagai hal yang tidak bertanggung jawab. [rd/ka]
Forum