Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyesali aksi penyamaran anggota polisi sebagai jurnalis yang telah dilakukan selama 14 tahun. AJI menilai cara yang dilakukan aparat tersebut merupakan cara kotor negara yang mencederai kebebasan pers di Indonesia. Penyusupan profesi jurnalis oleh aparat negara juga akan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap profesi jurnalis atau pers.
“AJI tentu menyesalkan ada intel yang memanfaatkan profesi wartawan, profesi jurnalis, dengan menyusup di institusi pers, dengan Umbaran yang menjadi wartawan TVRI. Nah, kami melihatnya, ini yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini aparat penegak hukum di Kepolisian, Polri, melakukan cara-cara kotor,” kata Ketua Advokasi Nasional AJI, Erick Tanjung.
Akhir-akhir ini nama Iptu Umbaran Wibowo memang tengah menjadi perbincangan. Ia yang sebelumnya berprofesi sebagai jurnalis TVRI Jawa Tengah, belum lama ini dilantik menjadi Kapolsek di Kradenan, Blora, Jawa Tengah. Menurut AJI, sejumlah peristiwa serupa juga pernah terjadi di Papua dan daerah-daerah lain.
Sementara itu, Ketua AJI Kota Surabaya, Eben Haezer, mengatakan inflitrasi intel Polri ke tubuh lembaga pers merupakan cara merusak independensi pers dari dalam. Organisasi profesi maupun perusahaan media, kata Eben, harus lebih selektif melihat latar belakang seorang calon jurnalis yang akan bekerja di lembaga pers.
“Ini merusak pers dari dalam. Ini potensi mengganggu independensi, dan kita mesti cermat, siapa pun yang menjadi jurnalis itu tidak boleh anggota PNS, atau Polri. Jadi, dorongannya juga kepada perusahaan media dan organisasi profesi agar semakin selektif, cermat, dan hati-hati ketika merekrut wartawan baru atau anggota baru,” paparnya.
Menurut Eben, profesi jurnalis yang memiliki kode etik tidak bisa dicampuradukkan dengan kode etik profesi lain karena pasti akan bertentangan.
“Saya yakin ini tidak akan bisa independen, apalagi kalau misalnya pemberitaannya terkait dengan institusi Polri misalnya. Contoh, ada kasus yang melibatkan Polri misalnya, maka saya khawatir kecenderungannya dia akan tidak bisa independen memberitakan itu di medianya. Karena ideologinya adalah di sana, karena background-nya dia di sana (Polri),” tukas Eben.
Pakar hukum Universitas Gajah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, meminta Polri atau aparat negara lainnya untuk menghargai profesi jurnalis yang terikat kode etik jurnalistik dan menjunjung kebebasan pers. Penyamaran ini, kata Herlambang, merupakan pelecehan profesi jurnalis dan pencederaan terhadap kebebasan pers di Indonesia.
“Dalam kasus ini Dewan Pers harus mengevaluasi, untuk melihat dampak yang akan ditimbulkan akibat penyamaran yang menggunakan identitas profesi jurnalis, karena dia tidak sedang menjalankan profesi jurnalistik, tapi dia menjalankan fungsi yang lain, yang itu tetnu tidak sesuai dengam standarnya jurnalis,” katanya. [pr/ah]
Forum