Ada banyak cara kampanye kesadaran tentang HIV/AIDS bisa disampaikan. Sejumlah pegiat isu ini di Yogyakarta, memanfaatkan pentas teater untuk mengangkat kesadaran masyarakat. Tampillah kemudian, Teater Inklusi Yogyakarta, sebuah kelompok teater di bawah pendampingan lembaga CD Bethesda Yakkum, Yogyakarta.
Pentas yang digelar Kamis (5/1) petang, di Taman Budaya Yogyakarta ini, tidak hanya menghibur, tetapi sekaligus menjadi pembuktian bahwa kelompok rentan seperti ODHA/ODHIV dan transpuan pun piawai memainkan peran.
Tentu, pentas ini bukan melewati proses yang tidak mudah.
“Ya, karena para pemain tidak ada yang punya latar belakang sebagai pemain teater. Jadi, untuk melatih keaktoran mereka, harus dimulai dari dasar, seperti melatih vokal, gerak tubuh, dan penjiwaan,” kata sutradara sekaligus pimpinan Teater Inklusi Yogyakarta, Wisnugroho.
Namun, bagi pria yang akrab dipanggil Udik Wisnu ini, proses tersebut bisa dilewati dengan baik.
“Karena pemain punya modal besar, yaitu semangat dan keseriusan,”ujarnya.
Mereka yang terlibat dalam pementasan ini adalah Warga Peduli Aids (WPA) )dari delapan kelurahan di Yogyakarta, komunitas peduli HIV/Aids Pita Merah, dan Yayasan Kebaya, yang aktif aktif mendampingi transpuan.
Pentas teater menjadi sarana bagi ODHA/ODHIV, transpuan dan para aktivis yang memang memiliki minat dan bakat di dunia kesenian. Namun lebih dari itu, pentas ini juga menyisipkan pesan kuat terkait kesetaraan dan edukasi bagi masyarakat, tentang HIV/AIDS.
Harus diakui, di tengah upaya tanpa henti untuk membentuk kesadaran tentang penerimaan bagi kelompok rentan, sebagian masyarakat masih memandang sebelah mata kepada mereka.
“Pentas ini juga sekaligus memperkenalkan Teater Inklusi Yogyakarta sebagai tim yang solid dan mampu bersaing dengan kelompok teater besar yang sudah ada sebelumnya. Sekaligus menambah jam terbang sebagai kelompok teater, sehingga menumbuhkan kepercayaan diri dan eksistensi mereka,” tambah Udik Wisnu.
Lakon yang dibawakan berjudul “Bidadari di Atas Sebutir Padi”.
“Naskah ini merupakan adaptasi cerita Nusantara, Jaka Tarub. Kisahnya adalah tentang turunnya bidadari ke bumi untuk mandi di sendang atau mata air di tengah hutan,” kata penulis naskah Wahyana Giri MC.
Dikisahkan kemudian, tokoh Joko Lelono, mencuri selendang salah satu bidadari bernama Nawang Wulan, keduanya kemudian menikah. Namun pada suatu waktu, Nawang Wulan mengetahui bahwa suaminyalah yang mencuri selendangnya, sehingga dia tidak bisa kembali ke langit. Dengan rasa marah, Nawang Wulan kemudian pulang ke kayangan, meninggalkan Joko Lelono.
Kisah ini, akrab bagi anak-anak di Indonesia, meski barangkali saat ini kian terlupakan.
“Adegan-adegan di dalamnya, kita manfaatkan sebagai sarana edukasi tentang HIV dan AIDS. Tentang apa itu penyakit menular, bagaimana penularan HIV dan AIDS, bagaimana pencegahannya, dan juga tentang diskriminasi ODHA/ODHIV,” lanjut Wahyana.
Alhasil, pesan-pesan tentang bagaimana HIV/AIDSmenular, pencegahan dan sikap melawan diskriminasi, mengalir deras lewat perbincangan para tokoh. Guyonan khas transpuan yang menggelitik menjadi warna tersendiri. Meski tidak beraktivitas rutin sebagai aktor panggung, kemampuan mereka melakonkan peran patut diapresiasi. [ns/ah]
Forum