Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintah akan menjalankan rekomendasi yang diberikan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) menyusul pengakuan pemerintah atas terjadinya 12 pelanggaran HAM berat. Terkait dengan hal itu, pemerintah antara lain akan melakukan pemulihan nama korban dan keluarga korban dengan memberikan bantuan ekonomi, jaminan kesehatan, pembangunan memorial, dan dokumen kependudukan.
Namun, menurut Mahfud, program ini akan diberikan secara khusus kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, sehingga berbeda dengan program warga lainnya.
"Pemberian hak pensiun kepada korban yang dulunya ASN, TNI, atau Polri. Itu banyak yang menjadi korban pelanggaran HAM. Jangan dikira korban hanya rakyat kecil, ASN juga banyak," tutur Mahfud MD secara daring pada Kamis (12/1) sore.
Mahfud menambahkan pemerintah akan membahas program pemulihan tersebut dalam rapat kabinet mendatang. Hal ini untuk memastikan kebijakan ini berjalan efektif. Pemerintah juga akan memberikan target kepada kementerian lembaga yang akan melakukan program pemulihan. Bila tidak berjalan, maka pemerintah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk mengawal kebijakan ini.
Mahfud juga menekankan proses non-yudisial ini tidak akan menghapus proses yudisial kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab Undang-Undang Pengadilan HAM mengatur bahwa tidak ada kedaluwarsa terhadap kasus pelanggaran HAM. Di sisi lain, ia menjelaskan adanya perbedaan standar pembuktian antara Komnas HAM dengan Kejaksaan yang menyebabkan terdakwa kasus-kasus pelanggaran HAM selalu bebas dari jeratan hukum.
"Empat kasus sudah diadili, dan dibebaskan semua terdakwanya oleh pengadilan, sebanyak 35 orang. Kasus pelanggaran HAM Timor Timur, Tanjung Priok, Abepura, Paniai bebas semua," tambahnya.
Karena itu, Mahfud mengusulkan agar kelanjutan terhadap proses yudisial kasus pelanggaran HAM berat dibahas terlebih dahulu di DPR. Langkah itu diambil untuk menghindari kasus HAM lainnya berujung pada pembebasan terdakwa seperti kasus sebelumnya.
Sedangkan untuk pencegahan pelanggaran HAM, pemerintah akan mengupayakan tata kelola pemerintah yang bagus, termasuk memberikan pelatihan-pelatihan HAM kepada aparat keamanan seperti TNI dan Polri. Pelatihan tersebut akan melibatkan pakar internasional dan sudah disetujui Presiden Joko Widodo.
KontraS: Pembaruan Janji Lama
Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak ada artinya jika tidak diikuti langkah konkret dalam pertanggungjawaban hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Selain itu, kata dia, rekomendasi pengakuan atas kejahatan kemanusiaan bukan hal yang baru. Sebab, Komnas HAM sudah merekomendasikan pengakuan dan permintaan maaf kepada presiden saat itu sejak tahun 1999.
Dalam merespons pidato Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada Rabu, 11 Januari 2023 di Istana Negara perihal pengakuan dan penyesalan terhadap kasus pelanggaran HAM, KontraS memberikan catatan terhadap hasil dari rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang telah diberikan kepada Presiden.
"Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan berupa pengungkapan kebenaran dan upaya pemulihan sesuai dengan hukum, tidak sekedar jaminan sosial," ujar Rivanlee kepada VOA, Jumat (13/01).
Rivanlee juga menyoroti berbagai rekomendasi pemulihan terhadap korban dan keluarga korban sejak awal reformasi dari berbagai lembaga negara seperti Komnas HAM, DPR, dan Mahkamah Agung. Pemerintah juga telah membentuk berbagai tim untuk kasus ini. Namun, kata Rivanlee, pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh menjalankan rekomendasi tersebut.
"Beberapa pemulihan seperti rehabilitasi fisik, psikologis, jaminan kesehatan, peningkatan keterampilan serta beasiswa bahkan telah dikerjakan oleh LPSK jauh sebelum Tim PPHAM dibentuk," katanya.
KontraS mencatat ada beberapa tim yang pernah dibentuk Presiden untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tim tersebut antara lain Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran pada 2015, Dewan Kerukunan Nasional pada 2016 hingga Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pada 2018. Namun, tim-tim ini gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara akuntabel.
Sebagai contoh, penerapan pemulihan korban kasus Talangsari di Lampung pada Desember 2020, hanya menekankan pada pemulihan infrastruktur yang seharusnya menjadi hak semua warga negara, terlepas korban pelanggaran HAM berat atau tidak. [sm/ah]
Forum