Tautan-tautan Akses

Jaga Situasi di Laut Natuna Utara, KSAL: Kapal Asing Boleh Sekadar Melintas


ILUSTRASI - Lokasi Laut Natuna Utara pada peta baru Indonesia, 14 Juli 2017. (REUTERS/Beawiharta/File Foto)
ILUSTRASI - Lokasi Laut Natuna Utara pada peta baru Indonesia, 14 Juli 2017. (REUTERS/Beawiharta/File Foto)

Laut Natuna Utara dipastikan tetap berada dalam situasi kondusif menyusul laporan berseliwerannya kapal-kapal China di sekitar perairan tersebut seminggu terakhir ini.

Laut Natuna Utara yang terletak di antara Kepulauan Natuna dan Laut Natuna, serta Tanjung Ca Mau di selatan Delta Mekong, Vietnam, memang senantiasa menarik kedatangan kapal-kapal asing. Terlebih karena kawasan ini bersinggungan langsung dengan batas laut zona ekonomi eksklusif Vietnam dan Malaysia. Namun kehadiran kapal-kapal perang China baru-baru ini kembali memicu polemik mengenai kedaulatan Indonesia di wilayah itu.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Muhammad Ali mengakui kapal-kapal asing yang melintasi Laut Natuna Utara bukan sekadar kapal patroli laut China saja, tapi juga ada kapal-kapal ikan dan patroli laut dari Vietnam. Berdasarkan hukum internasional, ujarnya, kapal-kapal asing memang boleh berlayar di wilayah zona ekonomi eksklusif itu.

"Kita hanya hak berdaulat atas sumber daya laut. Jadi kalau mereka menangkap ikan atau melaksanakan eksplorasi ataupun eksploitasi sumber daya laut, itu yang dilarang. Itu harus seizin pemerintah Indonesia. Kalau dia hanya lalu lalang, itu diperbolehkan," kata Ali.

Ali menggarisbawahi meskipun situasi di Laut Natuna Utara saat ini kondusif, TNI Angkatan Laut bekerjasama dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tetap siaga untuk mencegah terjadinya pelanggaran.

TNI Angkatan Laut menyiagakan 4-5 kapal perang dan satu pesawat patroli maritim di wilayah Laut Natuna Utara. TNI Angkatan Laut kerap melaksanakan patroli bersama di Laut Natuna Utara bersama mitra mereka di TNI Angkatan Udara.

Hingga saat ini tidak ada masalah di perairan Natuna Utara dan tidak ada provokasi-provokasi yang dilancarkan kapal asing. Indonesia, tambahnya, sering menangkap kapal ikan asal Vietnam karena menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesia secara ilegal.

Urgensi Pengamanan di Laut Natuna Utara

Peneliti perbatasan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sandy Raharjo kepada VOA, menjelaskan kapal asing boleh melintasi perairan ZEE Indonesia asal tidak melakukan eksploitasi dan eksplorasi.

Dalam konteks pengamanan di Laut Natuna Utara, dia menilai relatif bagus berdasarkan kapasitas yang dimiliki Indonesia.

"Dari berbagai sumber daya yang kita miliki dalam konteks alutsista dan lain-lain, banyak sumber daya yang kita alokasikan untuyk menjaga pengamanan wilayah di laut natuna Utara tersebut dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain yang punyapotensi sengketa tapi tidak seintens di Laut Cina Selatan, misalnya di ujung Laut Sulawesi," ujar Sandy.

TNI AL dan RSN AL Singapura menunjukkan kekuatan terbaiknya dalam latihan perang di Laut Natuna (13-20 September). (Sumber: Dinas Penerangan TNI AL)
TNI AL dan RSN AL Singapura menunjukkan kekuatan terbaiknya dalam latihan perang di Laut Natuna (13-20 September). (Sumber: Dinas Penerangan TNI AL)

Hal itu, menurut Sandy, sudah menunjukkan pemerintah memiliki kemauan politik yang bagus untuk menjaga kedaulatan wilayah Laut Natuna Utara yang memang berbatasan dengan wilayah sengketa Laut Cina Selatan.

Yang menarik, lanjutnya, China memegang aturan yang diklaimnya berlaku, misalnya soal nine baseline atau sembilan garis putus-putus. Pemerintah Indonesia juga mempunyai pegangan sendiri berdasarkan hukum laut internasional. Oleh karena itu perlu aturan bersama yang disepakati oleh negara-negara yang berada di sekitar wilayah Laut Cina Selatan.

Rumusan aturan bersama itu sudah lama dibahas namun belum disepakati oleh negara-negara yang bersengketa. Sedangkan China maunya perjanjian bilateral karena posisi tawarnya menjadi lebih besar. Selama aturan bersama itu belum disepakati dan dijalankan, patroli atau tes persenjataan di Laut Cina Selatan berpotensi mempercepat peningkatan ketegangan di sana.

Menurut Sandy, terkait konflik Laut Cina Selatan, pemerintah Indonesia perlu mulai beralih dari manajemen konflik menjadi resolusi konflik. Namun dia mengakui untuk menuju ke tahap resolusi konflik masih sangat sulit.

Indonesia juga harus segera mempercepat tercapainya kesepakatan mengenai batas landas kontinen dan ZEE dengan Malaysia. Dalam konteks yang lebih besar, rumusan aturan bersama di Laut Cina Selatan mesti segera disepakati.

Berbekal Klaim Sepihak, China Makin Berani

Teuku Rezasyah, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran menilai China makin berani dan galak, serta semakin memaksa. Padahal China sudah mengetahui konsepsi nine baseline yang diklaimnya, dan telah ditolak semua negara anggota ASEAN. Klaim China itu juga bertentangan dengan ZOPFAN (Zona Perdamaian, Kebebasan, dan Netralitas), bertolak belakang dengan prinsip Kawasan Bebas Nuklir ASEAN, dan ditolak oleh Mahkamah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).
Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).

Dia menambahkan kapal asing jika ingin melewati wilayah perairan negara lain harus memberi notifikasi.

"Harus ada kepastian hukum dari Indonesia dan negara-negara ASEAN yang lain. Kalau ada kapal asing lalu lalang dan tidak memberitahukan, sebenarnya bisa diperingatkan dan ngkatan udara mereka harus mengabarkan," tutur Rezasyah.

Menurut Rezasyah, lemahnya kemampuan Indonesia mendeteksi keberadaan kapal-kapal asing secara cepat menjadi kendala tersendiri. Kemampuan radar sipil dan militer dinilai belum terkoordinasi baik. Indonesia juga belum mempunyai piranti sensor jarak jauh (remote sensing) dan masih mengandalkan intelijen dari negara-negara yang dekat dengan Indonesia, yang seringkali terlambat.

Untuk itu Rezasyah menekankan perlunya kerjasama intelijen yang lebih erat antara Indonesia dengan berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Korea Selatan karena menyangkut kepentingan bersama di Indo-Pasifik.

Sementara terkait pengamanan di Laut Natuna Utara, dia merekomendasikan Indonesia untuk menyiagakan kekuatan minimum yang esensial sehingga membuat Indonesia lebih mampu mengamankan kedaulatan perairannnya. Lalu koordinasi antara intelijen darat, laut, dan udara beserta kepemilikan sensor jarak jauh.

Indonesia harus memiliki satelit mata-mata versi Indonesia dan dioperasikan oleh Indonesia sendiri untuk memantau seluruh wiulayah kedaulatannya. Pengamatan satelit itu real time sehingga bisa direspon cepat oleh TNI. Dengan cara itulah, negara asing menghormati kedaulatan wilayah Indonesia dan Indonesia lebih mampu mengamankan wilayahnya.

Pantau Kapal China, TNI AL Kirim Kapal Perang ke Laut Natuna Utara

Kantor berita Reuters hari Minggu (15/1) melaporkan TNI AL telah mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara untuk memantau kapal penjaga pantai China yang berlayar di sekitar Laut Natuna Utara pada Sabtu, 14 Januari 2023.

Data pelacakan kapal menunjukan kapal CCG 5901 telah berlayar di Laut Natuna khususnya di dekat lading gas Blok Natuna dan ladang minyak dan gas Chim Sao Vietnam sejak 30 Desember. Sebuah kapal perang, pesawat patroli maritim dan drone telah dikerahkan untuk memantau kapal tersebut.

Berdasarkan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut (UNCLOS) memberikan hak navigasi kapal melalui ZEE. Kegiatan tersebut dilakuakn setelah adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dan Vietnam, dan persetujuan dari Indonesia untuk mengembangkan lapangan gas Tuna di Laut Natuna dengan perkiraan total investasi lebih dari US$ 3 milliar hingga dimulainya produksi. [fw/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG