Pemimpin Kelompok Kriminal Bersenjata Egianus Kogoya adalah dalang di balik penculikan seorang pilot Selandia Baru di Papua pada bulan ini. Pemberontak yang baru berusia 24 tahun itu berada di garis depan pemberontakan yang semakin berbahaya dan semakin paham media untuk mencapai tujuan memerdekakan Papua.
Kelompok pemberontak separatis menculik pilot Selandia Baru Philip Mehrtens, 37 tahun, setelah dia mendaratkan pesawat kecilnya di Nduga pada 7 Februari.
Duduk di kokpit pesawat, Kogoya, mengenakan jaket denim, kalung tulang, dan kacamata cermin, dengan tangan menutupi senapan. Ia tampak senang berpose saat anak buahnya mendokumentasikan penculikan paling fenomenal hingga saat ini.
Dalam serangkaian video yang dipublikasikan, Kogoya menuntut kemerdekaan Papua, wilayah yang kaya sumber daya itu, sebagai imbalan atas pembebasan Mehrtens.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah melakukan perlawanan beskala kecil selama beberapa dekade untuk meraih kemerdekaan. Namun Kogoya dan kelompoknya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBM-OPM), tiba-tiba muncul sebagai kelompok yang sangat berbahaya dan tidak dapat diprediksi.
“Apa yang kita lihat adalah kepemimpinan baru yang lebih muda di antara kelompok pemberontak lokal yang lebih agresif dan belum tentu strategis dalam jangka panjang,” kata Deka Anwar, dari lembaga kajian yang berbasis di Jakarta, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Kementerian Pertahanan tidak menanggapi permintaan komentar Reuters. Namun Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksma Kisdiyanto mengatakan pemerintah tengah menangani serangan “beberapa” separatis terhadap kedaulatan Indonesia.
TNI mengatakan sedang mempersiapkan "operasi penegakan hukum" hanya jika negosiasi untuk membebaskan Mehrtens gagal. Operasi itu adalah upaya terakhir yang akan diambil.
Separatis mengatakan perjuangan mereka sah karena bekas kekuatan kolonial Belanda menjanjikan wilayah itu bisa merdeka sebelum dianeksasi Indonesia pada 1963.
Pemerintah mengatakan Papua masuk dalam wilayah NKRI setelah dilakukannya pemungutan suara pada 1969 yang diawasi PBB. Saat itu 1.025 orang dengan suara bulat mendukung integrasi Papua, yang saat itu disebut Irian Jaya, ke dalam wilayah kedaulatan NKRI.
Namun, lebih dari setengah abad kemudian, pihak separatis masih merongrong wilayah Indonesia.
Diperkirakan 500 orang diidentifikasi bergabung menjadi anggota TPNPB, sayap bersenjata OPM.
TPNPB tidak memiliki kohesi dan kepemimpinan dan komando pusat.
Sebaliknya, unit-unit di berbagai wilayah beroperasi di bawah komandan individu, seperti Kogoya, yang berasal dari keluarga yang berlatarbelakang pemberontak. Beberapa kerabatnya berada di balik tragedi penculikan beberapa peneliti asing pada 1996.
Selama bertahun-tahun, separatis melakukan serangan berskala kecil yang memakan korban sedikit. Namun, Kogoya dan kelompoknya membuka babak baru yang berdarah pada 2018 ketika mereka menyerang sebuah proyek pembangunan jalan yang menewaskan 21 pekerja di Nduga.
Pemerintah melakukan operasi keamanan sebagai tanggapan. Pemerintah bersumpah untuk membekuk pemberontak dengan menerjunkan ratusan pasukan tambahan.
Kekerasan memaksa ribuan penduduk desa mengungsi, memicu krisis kemanusiaan di mana lebih dari 160 orang meninggal karena sakit dan kelaparan. Namun di dataran tinggi Papua yang terjal, aparat keamanan gagal melacak keberadaan Kogoya dan anak buahnya.
Media Sosial
Kelompok pemberontak yang pernah mengacungkan busur dan anak panah kini semakin banyak terlihat membawa senjata, termasuk senapan otomatis yang disita dalam penggerebekan pasukan keamanan atau dibeli di pasar gelap. Laporan IPAC pada Juli membeberkan bahwa mereka lebih sering melakukan penyerangan yang dianggap lebih mematikan. Lima puluh dua anggota pasukan keamanan dan 34 anggota tewas antara 2018 dan 2021, katanya.
Para pemberontak juga memanfaatkan komunikasi modern.
Cahyo Pamungkas, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan kelompok separatis menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan mereka.
“Media sosial adalah alat perlawanan untuk menyampaikan cerita dari Papua karena media nasional didominasi oleh perspektif dari Jakarta,” katanya.
"Mereka benar-benar paham media," kata Anwar dari IPAC, "Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bukan kelompok pemberontak, tetapi memiliki beberapa struktur, setidaknya di tingkat lokal."
Juru bicara TPNPB Sebby Sambom mengatakan pilot Selandia Baru diperlakukan dengan baik seperti "keluarga".
"Ini adalah idenya tapi kami bertanggung jawab untuk mengendalikan situasi," kata Sambon melalui telepon, merujuk pada penangkapan pilot oleh Kogoya.
Sambon bersumpah akan lebih banyak melakukan kekerasan kecuali tuntutan separatis dipenuhi. Ia menegaskan TPNPB merencanakan "revolusi total" pada 2025 dengan kehancuran dan pertumpahan darah yang diprediksi akan meluas.
Pemerintah tidak menanggapi permintaan komentar tentang ancaman eskalasi pemberontak.
Beberapa aktivis HAM mengkritik tanggapan pemerintah terhadap pemberontakan tersebut.
Proyek pengadaan satelit yang akan membantu militer menemukan lokasi Kogoya, diduga menjadi sarana korupsi, kata seorang anggota DPR kepada Reuters.
Ada juga pertanyaan tentang tanggung jawab atas kebijakan pemerintah yang mengatakan melakukan "pendekatan yang lebih lembut" padahal pihak militer cenderung mengerahkan lebih banyak pasukan untuk menanggapi sejumlah serangan.
“Tidak sepenuhnya di bawah kendali pemerintah sipil di sana,” kata Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung yang menjadi aktivis hak asasi manusia.
"(Papua) menjadi wilayah militer dan itu tidak membantu,” tukasnya. [ah/rs]
Forum