Sejumlah pria bersenjata menyerbu lokasi penambangan emas yang dioperasikan China yang baru saja dibuka di Republik Afrika Tengah dan menewaskan sembilan warga China. Pihak berwenang mengatakan mereka juga melukai dua orang lainnya pada Minggu (19/3).
Meski demikian, koalisi pemberontak yang awalnya disalahkan oleh sejumlah pihak atas serangan tersebut mengeluarkan sebuah pernyataan pada hari yang sama. Tanpa memberikan bukti, kelompok itu menuduh tentara bayaran Rusia dari kelompok Wagner lah yang berada di balik kejadian tersebut.
Serangan pada Minggu (19/3) dini hari itu terjadi hanya beberapa hari setelah sekelompok pria bersenjata menculik tiga warga China di sisi barat negara itu, yang berbatasan dengan Kamerun, sehingga mendorong Presiden Afrika Tengah Faustin Archange Touadera merencanakan kunjungan ke China untuk meyakinkan para investor.
Serangan ke tambang emas Chimbolo itu dimulai sekitar pukul 05.00 waktu setempat. Kelompok pria bersenjata itu berhasil mengalahkan para penjaga lokasi tambang dan melepaskan tembakan, kata Abel Matipata, Wali Kota Bambari, kota di dekat lokasi yang berjarak 25 kilometer. Pembukaan situs penambangan itu pun baru dilakukan beberapa hari sebelumnya, tambahnya.
Jasad para korban dibawa ke Ibu Kota Afrika Tengah, Bangui, pada Minggu. Pihak berwenang setempat mengatakan, mereka sedang mengejar para pelaku namun tidak bersedia menjelaskan lebih lanjut. Warga setempat mengatakan bahwa kejadian itu menjadi insiden terakhir yang semakin menggerus kepercayaan pada pasukan keamanan.
“Pemerintah kesulitan membuktikan kemampuannya untuk melindungi warga Afrika Tengah dan warga asing yang tinggal di negara ini,” kata Ange Morel Gbatangue, warga Bambari.
Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab. Namun, kecurigaan diarahkan pada Koalisi Patriot Perubahan (CPC), yang aktif beraksi di wilayah itu dan rutin melancarkan serangan terhadap pasukan bersenjata negara tersebut. Aliansi kelompok pemberontak itu sehaluan dengan mantan presiden Francois Bozize.
Anselme Bangue, yang mendukung pemerintahan presiden saat ini, menyebut serangan terhadap para pebisnis China itu sebagai tindakan “kepengecutan yang tidak bisa digambarkan.”
“Bukan saja memperlambat momentum perekonomian negara ini, CPC juga kini menyerang fondasi pembangunan. Ini tidak bisa diterima,” kata Bangue.
Meski demikian, juru bicara militer CPC, Mamadou Koura, mengatakan bahwa tuduhan-tuduhan itu keliru. Ia mengklaim – tanpa memberikan bukti – bahwa tentara bayaran Rusia lah yang merencanakan serangan tersebut “dengan tujuan untuk menakut-nakuti orang China yang sudah jauh lebih lama berada di wilayah negara ini dari pada orang Rusia.”
Kelompok tentara bayaran Rusia itu disewa oleh Touadera untuk memberikan pelatihan keamanan dan militer, namun telah dituduh para pengamat PBB melakukan pelanggaran HAM, termasuk pembantaian.
Republik Afrika Tengah sendiri masih merupakan salah satu negara termiskin di dunia meski memiliki kekayaan mineral berupa emas dan berlian yang melimpah. Sejumlah kelompok pemberontak telah beroperasi dengan kekebalan hukum di seantero negara yang dilanda perang itu selama satu dekade terakhir, menggagalkan eksplorasi tambang yang dilakukan perusahaan-perusahaan asing.
Banyak di antara situs penambangan yang kini beroperasi di negara itu dimiliki China dan menghadapi berbagai tantangan keamanan. Pada 2020, dua warga China tewas ketika warga setempat memimpin pemberontakan terhadap sebuah situs tambang yang dioperasikan China di Sosso Nakombo.
Lalu pada 2018, tiga warga China dibunuh oleh anggota masyarakat yang marah setelah seorang pemimpin setempat tewas dalam sebuah kecelakaan kapal saat menemani para penambang China ke suatu situs penambangan. [rd/jm]
Forum