Sebelum CEO TikTok Shou Zi Chew hadir dalam dengar pendapat di Kongres, Kamis (23/3) untuk memastikan komitmen perusahaannya melindungi keamanan pengguna dan data mereka, serta menjaga agar platform itu bebas dari pengaruh pemerintah China, sejumlah pemengaruh terkenal dan papan-papan reklame di ibu kota Washington DC berupaya mencegah pemblokiran aplikasi TikTok.
Perusahaan aplikasi berbagi video yang sangat populer ini dikelola oleh perusahaan induk ByteDance, yang berkantor di Beijing. Hingga Maret ini, TikTok digunakan di lebih dari 150 negara dengan jumlah pengguna mencapai lebih dari satu miliar orang. Di Amerika saja aplikasi ini diunduh lebih dari 210 juta kali, terutama oleh mereka yang menarget penonton berusia antara 13-60 tahun.
Meskipun penggunaannya sangat masif, platofrm ini terus menerus dirundung klaim bahwa mereka mengancam keamanan nasional dan privasi penggunanya, atau dapat digunakan untuk mempromosikan propaganda pro-Beijing dan informasi yang salah atau misinformasi.
Dalam konferensi pers seusai dengar pendapat itu, CEO TikTok Shou Zi Chew, kembali menegaskan empat komitmen perusahaannya, yaitu pertama, untuk memprioritaskan keamanan, khususnya remaja; kedua, memasang firewall yang akan melindungi data agar tidak diakses pihak asing yang tidak dikehendaki; ketiga, memastikan agar TikTok menjunjung tinggi kebebasan berekspresi tanpa manipulasi pemerintah mana pun; dan yang keempat, menjaga transparansi dan pemantauan oleh pihak ketiga.
Dalam forum itu, ia juga berusaha membujuk anggota-anggota Kongres untuk tidak melarang aplikasi itu atau memaksa penjualan aplikasi itu pada pemilik baru.
Salah seorang pemengaruh terkenal asal California yang memiliki lebih dari 1,7 juta penggemar di TikTok, Janette Ok, mengatakan, “Saya menghabiskan begitu banyak waktu di TikTok. Ini sudah menjadi karir saya, dari jam 9 pagi hingga 5 sore. Saya tidak saja mendapat banyak kesempatan dari platform ini, tetapi juga melakukan hal-hal yang lebih besar seperti iklan komersil, tawaran seni peran, dan bahkan pergi ke acara-acara bergengsi karena TikTok. Berkat para penggemar saya, saya bisa berkembang dan membuat bisnis di luar platform ini,” jelasnya.
Perempuan berusia 26 tahun ini secara reguler memproduksi video tentang mode, gaya hidup dan hiburan.
Hal senada disampaikan Gohar Khan, yang mulai membuat video di TikTok pada Maret 2020 ketika ia diterima kuliah di Masschusetts Institute of Technology MIT, dan tertantang memberikan kiat-kiat belajar bagi siswa untuk diterima di kampus-kamus terkenal di Amerika.
“Saat ini saya dan adik saya, bersama sekitar 60 konsultan, berupaya memberikan nasihat kepada para siswa lewat TikTok. Platform ini yang mengilhami saya untuk memulai usaha ini dan kemudian menyadari potensi untuk mengubah penggemar saya menjadi pengguna jasa. Saya jadi memiliki pekerjaan dan penghasilan dari sesuatu yang tidak pernah saya duga sebelumnya,” komentarnya.
Perusahaan konsultan penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi yang disebut “Next Admit,” yang didirikan Gohar bersama adiknya Mahad, mendapatkan 60 persen pengguna jasa mereka lewat TikTok.
“Jadi jika TikTok dilarang, merek dagang saya akan hilang, dan juga 60 persen pengguna jasa saya. Walhasil saya hanya memiliki sedikit keuntungan dari yang biasanya saya peroleh,” jelasnya.
Sebagian Negara Larang Penggunaan TikTok di Piranti Pemerintah
Pihak berwenang di Amerika Utara, Eropa, dan Asia-Pasifik telah melarang aplikasi TikTok, terutama di sebagian besar telpon seluler atau piranti milik pemerintah yang digunakan untuk aktivitas resmi mereka. Alasan utamanya adalah keprihatinan atas keamanan dunia maya.
Para pejabat di Biro Penyidik Federal FBI dan Komisi Komunikasi Federal FCC telah mengingatkan bahwa ByteDance mungkin membagi data pengguna TikTok, seperti sejarah pencarian informasi, lokasi dan identifikasi biometrik dengan pemerintah otoriter China.
Para pejabat khawatir TikTok, yang sebagaimana platform media sosial lainnya, mengumpulkan sejumlah besar data penggunanya, akan dipaksa oleh pemerintah China untuk menyerahkan data-data tersebut seusai undang-undang tahun 2017 yang mewajikan perusahaan-perusahaan di Negeri Tirai Bambu itu untuk menyerahkan data personil apapun yang relevan kepada keamanan nasional China.
TikTok telah melancarkan upaya untuk memastikan keamanan data penggunanya, termasuk lewat proyek penyimpanan informasi di server Oracle di Amerika yang bernilai US$1,5 miliar, dan langkah mengizinkan tim monitor mengawasi kode sumber-sumbernya. [em/jm]
Forum