Pakar politik dan pengguna media sosial Iran mengkritik pemimpin tertinggi negara itu, Ayatollah Ali Khamenei, setelah pada pekan ini ia menolak menggelar referendum terhadap kebijakan-kebijakan negara. Referendum itu banyak didukung masyarakat.
Iran menghadapi gelombang unjuk rasa anti-pemerintah besar-besaran tahun lalu, sehingga mendorong mantan Presiden Hassan Rouhani untuk menyarankan digelarnya referendum terhadap kebijakan dalam dan luar negeri Iran.
Pemimpin tertinggi Iran lantas menolak gagasan tersebut. Ia juga menjelaskan bahwa ia menolaknya karena “tidak semua orang memiliki wewenang untuk menganalisis masalah yang diajukan dalam referendum.”
Hamed Sheibani Rad, aktivis politik yang bermukim di Prancis, mengatakan kepada VOA Persia bahwa “setelah 44 tahun, tidak pernah ada perubahan” dalam pola pikir yang membentuk Republik Islam itu, dan “hal itu dapat dilihat dari pernyataan Khamenei baru-baru ini tentang ketidakmampuan masyarakat untuk menganalisis masalah dan mengambil keputusan yang tepat dalam referendum.”
Sheibani Rad, yang merupakan juru bicara sementara Partai Baru Iran, menekankan bahwa “Rezim yang bangkit dari filosofi merah dan hitam itu tidak bisa diubah ataupun berubah, tapi ia bisa digulingkan.”
Mahmoud Moradkhani, keponakan Khamenei, mencuit hari Rabu (19/4), “Referendum dan pemilu hanya bermakna bagi Ali Khamenei ketika ia sudah menentukan hasilnya lebih dulu.”
Menurut Moradkhani, yang menentang Republik Islam itu, “Ali Khamenei mengatakan: Ya pada penunjukan, Tidak pada pemilu!”
Pemilu presiden dan legislatif Iran diawasi oleh badan ulama. Di bawah konstitusi Iran, referendum hanya bisa dilakukan bila dua pertiga suara parlemen memilih untuk melakukannya dan dengan persetujuan badan konstitusional beranggotakan 12 orang. [rd/jm]
Forum