Aktivis lingkungan mengkritisi rencana pemerintah untuk menerapkan perdagangan karbon (carbon trading) dalam waktu dekat. Forest Campaigner Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menilai bahwa bursa karbon merupakan solusi palsu atau bahkan disebutnya sebagai kebohongan besar dalam membantu Indonesia mencapai target emisi sebesar 29 persen hingga 41 persen pada 2030 serta net zero emission (NZE) atau nol emisi pada 2060.
“Kita menyebutnya sebagai dangerous lies, atau kebohongan yang berbahaya karena dia tidak menyelesaikan persoalan, tapi hanya menimbulkan persoalan baru,” kata Iqbal.
Dia berpendapat perdagangan karbon hanya memberikan hak untuk berpolusi kepada perusahaan atau polutter yang hak berpolusinya sudah mencapai titik maksimal, kemudian bisa membeli “pulsa” dari perusahaan yang masih memiliki cadangan karbon untuk bisa dijual.
“Yang harusnya didorong itu, bukan hak berpolusi tapi sama-sama menurunkan produksinya atau bertransisi dari energi kotor ke energi bersih. Ketimbang kita berdagang karbon antar-PLTU misalnya, yang itu akan memungkinkan menambah beban pada pengguna listirk misalnya (dari segi) harga. Karena si perusahaan ini beli karbon, dan akan menaikkan biaya produksi logikanya seperti itu. Ketika biaya produksinya naik maka daya beli konsumen akan naik terhadap suatu barang itu. Ketimbang kita menaikkan beban itu kenapa tidak bertransisi saja?” jelas Iqbal.
Sebelumnya Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah lewat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengatur mekanisme perdagangan karbon melalui bursa karbon. Perdagangan karbon di Tanah Air akan bersifat terbuka bagi semua pelaku usaha, tetapi harus terlebih dahulu melakukan registrasi lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain itu, pemerintah akan mengatur tata kelola penataan perizinan bagi perusahaan yang memiliki izin konsensi seperti hutan lindung dan konservasi, kata Bahlil.
Indonesia, disinyalir memiliki potensi pasar karbon cukup besar yang ditaksir bisa mencapai Rp8.000 triliun. Hal ini karena luasnya hutan di Tanah Air, di mana hutan dianggap mempunyai karbon yang tersimpan.
Terkait dengan hutan yang luas tersebut, Iqbal berpendapat, perdagangan karbon juga berpotensi menimbulkan konflik lain yakni dengan masyarakat adat, dan masyarakat yang tinggal dipinggiran hutan yang sudah sejak lama menjaga hutan. Pasalnya, mereka nantinya akan terusir oleh perusahaan-perusahaan yang diberi izin konsensi oleh pemerintah dengan atas nama menjaga hutan.
“Di beberapa negara seperti di Kongo, itu bahkan ada perpindahan massal dari wilayah hutan untuk carbon trading, makanya disebut green grabbing. Jadi mengambil lahan kepada masyarakat adat atas nama hijau,” tutur Iqbal.
Padahal, lanjutnya, di Indonesia pengakuan hak masyarakat adat belum ada. Akibatnya aktivitas carbon trading akan berpotensi menimbulkan konflik, karena akan menambah konflik antara masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal di wilayah hutan dengan pengguna carbon trading.
“Bedanya kalau dulu (disebut) perusak hutan sekarang menjadi menjaga hutan, tetapi hutan kan bukan wilayah kosong, ketika mereka menganggap menjaga hutan ada nilai uangnya, ada nilai ekonomi, nilainya kepada siapa, ya kepada perusahaan, bukan kembali kepada masyarakat adat,” katanya.
Untuk itu, Iqbal menegaskan perlunya diperjelas nilai kemanfaatan ekonomi.
Pemberlakukan Pajak Karbon
Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan mekanisme perdagangan karbon tidak bisa berdiri sendiri. Menurutnya, keberadaan bursa karbon harus disertai dengan pemberlakuan pajak karbon, sehingga akan ada usaha dari si perusahaan yang menghasilkan polusi tinggi untuk pelan-pelan melakukan transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.
“Di mana-mana di banyak negara, bursa karbon hidup juga karena ada efektivitas dari pajak karbon. Jadi artinya ada reward and punishment, beli kredit karbon boleh, tapi kalau si perusahaan itu masih tetap polusinya tinggi maka pengenaan pajak karbonnya juga tinggi. Ini satu paket yang tidak bisa terpisah,” ujar Bhima.
Selain itu, kata Bhima, meskipun Indonesia memiliki potensi besar dari perdagangan karbon, tetapi pemerintah harus memperhatikan pelibatan dari semua pihak yang terkait dalam ekosistem ini, agar tercipta pasar yang seimbang.
“Jadi sebenarnya yang dikhawatirkan dari bursa karbon yang potensinya besar itu pelibatan dari perusahaan di dalam negeri untuk membeli kredit karbon masih kecil, kedua dari sisi mereka yang memiliki kredit karbon, artinya perusahaan-perusahaan yang ramah lingkungan termasuk yang punya konservasi lingkungan, masyarakat adat, koperasi, itu juga harus lebih banyak disosialisasikan dulu. Bagaimana mereka bisa terlibat dalam ekosistem, karena nanti bisa jadi timpang,” tuturnya.
Maka dari itu, ujar Bhima, selain mengatur mekanisme atau peraturan dan tata kelola dalam perdagangan karbon, pajak karbon juga harus segera direalisasikan.
“Padahal pajak karbon sudah ada payung hukumnya. Jadi jalannya mustinya berbarengan, karena kalau engga kahwatir akan jadi green washing. Jadi perusahaan polutan, mengklaim bahwa ya emisi kita sudah kecil karena kita beli kredit karbon yang lain. Nah itu harus diimbangi dengan pajak karbon tadi, implementasinya harus cepat,” pungkasnya. [gi/ah]
Forum