Beberapa kekerasan terburuk terjadi di Tepi Barat, antara Israel dan Palestina dalam beberapa tahun terakhir. Kata pengamat, itu adalah gabungan berbagai faktor yang memanas, di satu pihak Otoritas Palestina tampaknya tidak dapat mengendalikan militan, sementara militer Israel juga berbuat sedikit atau tidak melakukan apa pun untuk menghentikan serangan oleh pemukim Yahudi ekstremis.
Pemukim ekstrimis Yahudi mengamuk di kota-kota Palestina, membakar rumah dan mobil. Kekerasan yang melonjak kini terlihat selama beberapa bulan terakhir, sehingga menarik perhatian Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, yang memperingatkan, “Kekerasan (ini) berisiko tidak terkendali.”
Pengamat Timur Tengah Bruce Riedel, cendekiawan kehormatan di Brookings Institution di Washington, DC, mengatakan kepada VOA, ia yakin intifadah atau pemberontakan Palestina ketiga melawan pendudukan Israel kini sedang berlangsung. Intifadah pertama berkecamuk tahun 1987 hingga 1993, dan yang kedua dimulai pada tahun 2000.
“Intifadah ketiga telah tiba. Kekerasan meningkat di Tepi Barat bagian utara, tetapi juga di tempat-tempat lain, di Yerusalem, di dalam komunitas Arab Israel, dan kini di komunitas Druze di Dataran Tinggi Golan. Kekerasan itu jauh lebih tinggi dari biasanya. Salah satu unsur yang paling mengganggu adalah, kita melihat senjata kini tersedia di tempat-tempat seperti Nablus dan Jenin. Pada masa lalu, sangat sulit bagi warga Palestina memperoleh akses ke senjata,” ujarnya.
Pemerintah sayap kanan Israel mendorong tanggapan militer yang lebih agresif terhadap serangan militan Palestina, sambil mendorong perluasan pemukiman Yahudi di Tepi Barat, kata para pengamat. Mereka mengatakan Otoritas Palestina tidak dapat mengekang militan karena tidak memiliki kekuasaan di antara warga awam Palestina.
“Situasinya sudah memanas untuk mengarah ke dalam kekacauan. Pemerintahan Israel yang sangat berfaham kanan, anggotanya menyerukan operasi militer skala besar di Jenin, penggunaan kekuatan udara, dan kepemimpinan Palestina yang sangat lemah sekarang. Sebaliknya, mereka mempunyai pasukan yang bangkit di Jenin dan Nablus, yang tampaknya jauh lebih mengarah pada Hamas dan Jihad Islam Palestina, daripada gerakan nasional Fatah seperti sebelumnya,” tambah Riedel.
Seorang pakar keamanan nasional Palestina, Zakaria al-Qaq mengatakan kepada harian New York Times bahwa tampaknya ada “keterlibatan penuh antara Israel dan faksi-faksi kecil Palestina, dan Otoritas Palestina berada di luar permainan, di pinggiran, atau benar-benar tidak hadir sama sekali.”
Hanan Ashrawi, yang pernah menjadi juru bicara resmi Palestina dalam proses perdamaian Timur Tengah mengatakan kepada Lembaga perdamaian Carnegie Endowment baru-baru ini, bahwa bahasa solusi dua negara, dengan membayangkan sebuah negara Palestina didirikan bersama Israel, “menjadi semakin tidak relevan.”
“Kita kini berada pada akhir masa, baik di Palestina maupun Israel. Kami sedang mengalami situasi transisi yang serius. Semua perkiraan sebelumnya terbukti salah. Bahkan perjanjian yang ditandatangani tidak dihormati, tetapi digunakan untuk memperburuk konflik atau kekuasaan Israel daripada menghapus pendudukan atau berakhir dengan penentuan nasib sendiri bagi Palestina,” kecam Ashrawi.
Ashrawi mengkritik tindakan Israel yang merusak aspirasi Palestina, tetapi kepemimpinan Palestina juga salah urus dan terpecah. [ps/lt]
Forum