Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan harapannya agar Indo-Pasifik menjadi kawasan yang stabil dan bebas perang. Ia menekankan perlunya Indo-Pasifik berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita kolektif, yaitu kawasan yang damai, stabil dan inklusif. Bahkan kawasan tersebut juga harus dapat menyebarkan paradigma kolaborasi ke kawasan lain.
“Namun kita belum mampu mewujudkan lingkungan yang kondusif untuk mengoptimalkan potensi di kawasan. Kecurigaan dan ketidakpastian masih terjadi. Sebagian bahkan menyebut Indo-Pasifik mengalami ‘perang dingin di tempat panas,’” kata Retno.
Hal tersebut diungkapkan Retno dalam pembukaan pertemuan menteri luar negeri dalam East Asia Summit (EAS) atau KTT Asia Timur di Jakarta, Jumat (14/7). EAS merupakan wadah inklusif yang membahas dinamika di kawasan dan dunia yang beranggotakan 18 negara, yaitu anggota ASEAN dan sejumlah mitra, seperti Amerika Serikat (AS), China, Rusia, Jepang, India, Australia, Korea dan Selandia Baru.
Retno mengatakan masyarakat menaruh harapan besar kepada EAS sebagai satu-satunya forum yang melibatkan semua pemain kunci di kawasan Indo-Pasifik. Dengan demikian, Indo-Pasifik berada di momen yang menentukan pada saat ini.
Retno mengingatkan perlunya semua pihak untuk bekerja sama dalam menjembatani, menanamkan kepercayaan dan membangun arsitektur kawasan yang inklusif. Perbedaan yang ada, tambanya, tidak boleh menjadi pemisah kerekatan kawasan, melainkan justru memperkaya upaya kolektif dan menjadi kekuatan.
Pada kesempatan itu, Menlu juga mengutip falsafah ”Bhineka Tunggal Ika” yang mengandung makna dari perbedaan dapat tercipta harmoni untuk mewujudkan agenda bersama. Semangat ini, lanjut Retno, perlu dimiliki oleh semua peserta EAS dalam berdiskusi dan saling mendengarkan tanpa prasangka.
Pandangan ASEAN Normatif
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah berpendapat pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik masih bersifat normatif. Padahal, katanya, ASEAN menyadari benturan kepentingan sudah terjadi di Laut China Selatan antara AS dengan China.
Dia menambahkan AS dan China terlihat saling berupaya memaksakan kepentingan nasional masing-masing. Karena itu, ASEAN perlu menyadarkan semua pihak bahwa terdapat empat aturan main di Asia Tenggara.
Keempat aturan main tersebut adalah ASEAN merupakan zona damai, bebas, dan netral. Kemudian Zona Bebas Nuklir Asia Tengggara, Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982), dan Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama.
"Sementara yang bisa kita (ASEAN) lakukan adalah menegaskan itu kepada mereka (AS dan China) dan ASEAN itu tidak mau terlibat menjadi ekor dari siapapun di antara mereka," ujar Rezasyah kepada VOA, Sabtu (15/7).
Rezasyah menilai dari hari ke hari persaingan antara AS dan China di Laut China Selatan makin tajam, serta saling mengancam. Oleh sebab itu, ASEAN perlu memperkuat kemampuannya untuk mengamankan kawasannya sendiri tanpa perlu pengingkatan kerja sama pertahanan bilateral antara negara anggota ASEAN dengan negara besar lainnya.
Namun, dia menekankan ASEAN akan kesulitan dianggap sebagai kekuatan menengah yang kredibel karena tidak mampu memantau kegiatan di Laut China Selatan. Hal itu, lanjut Rezasyah, terjadi karena beberapa negara anggota masing-masing memiliki kerja sama pertahanan dengan AS.
Rezasyah meyakini tidak akan terjadi perang terbuka antara Washington dan Beijing di Laut China Selatan. Namun, ia memprediksi akan terjadi adalah suatu Perang Dingin, di mana terjadi ketegangan, saling ancam. Sebab AS dan China sadar perang terbuka bisa berkembang menjadi sengketa nuklir.
AS dan China juga menyadari kalau salah satu menyerang, maka serangan balasan akan menjadi lebih mematikan dan keduanya akan sama-sama hancur. Sementata jika terjadi perang non-nuklir, China dalam pandangan Rezasyah, masih kalah dari AS. Meski demian ia berpendapat Washington juga enggan melakukannya.
“Yang perlu dilakukan sekarang oleh ASEAN, terutama Indonesia, adalah terus berkomunikasi dan bekerja sama dengan Amerika dan China,” tegasnya. [fw/ah]
Forum