Pada tanggal 7 Juli, AS mengumumkan bahwa mereka telah menghancurkan persediaan senjata kimia terakhirnya, menutup satu babak senjata kimia (yang telah digunakan) sejak Perang Dunia I.
“Selama lebih dari 30 tahun, Amerika Serikat telah bekerja tanpa lelah untuk menghilangkan persediaan senjata kimia kami,” kata Presiden Biden dalam pernyataan pada 7 Juli 2023, “Hari ini, saya dengan bangga mengumumkan bahwa Amerika Serikat telah dengan aman menghancurkan persediaan amunisi terakhir — membawa kita selangkah lebih dekat ke dunia yang bebas dari kengerian (horor) senjata kimia.”
Ketika ditanya apakah Beijing memiliki komentar tentang perkembangan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning menjawab:
“Telah ditetapkan dalam CWC (Konvensi Senjata Kimia) bahwa Negara-negara yang ikut meratifikasi harus menyelesaikan pemusnahan tidak lebih dari 10 tahun setelah pemberlakuan CWC pada tahun 1997. AS adalah negara terakhir yang menyelesaikan pemusnahan persediaan senjata kimianya yang diumumkan, jauh melebihi batas waktu yang ditetapkan di CWC.”
Ini (informasi) menyesatkan.
Konvensi Senjata Kimia (CWC) “melarang pengembangan, produksi, kepemilikan, penimbunan, retensi, transfer atau penggunaan senjata kimia oleh negara-negara yang ikut meratifikasi.”
Seratus tiga puluh negara, termasuk Amerika Serikat, menandatangani Konvensi tersebut pada tahun 1997, bersumpah untuk menghancurkan cadangan senjata kimia mereka dalam waktu 10 tahun.
Jika CWC mengharuskan negara anggota untuk melenyapkan stok senjata kimia mereka pada 2007, mengapa butuh waktu lama bagi AS untuk memusnahkan stoknya?
Pertama, penanganan senjata-senjata tersebut sulit karena mengandung bahan-bahan kimia mematikan yang dipadatkan dalam selongsong artileri, roket-roket atau bom-bom. "Persenjataan-persenjataan tersebut dibuat untuk ditembakkan, bukan untuk dibongkar. Kombinasi bahan peledak dan racun membuat persenjataan tersebut sangat berbahaya untuk ditangani," koran The New York Times melaporkan.
Kemudian, ada proses pembuangan. Meski Departemen Pertahanan AS lebih memilih metode insinerasi atau pembakaran hingga tuntas, warga Amerika menolak cara itu karena takut dengan bahaya polusi. Organisasi akar rumput, Kelompok Kerja Senjata-senjata Kimia (the Chemical Weapons Working Group), dibentuk dan mulai advokasi penggunaan teknologi-teknologi lain selain insinerasi.
Akibatnya, teknik penghancuran yang sama sekali baru harus dikembangkan, dan AS menggunakan berbagai proses kimia untuk menghancurkan senjata berbahaya ini. Misalnya, gas mustard dipecah oleh bakteri, sedangkan gas sarin dinonaktifkan secara kimiawi sebelum dihancurkan. Kebutuhan akan metode pembuangan alternatif secara signifikan memperpanjang garis waktu AS untuk menghancurkan senjata-senjata perang ini dengan aman.
Faktor lain, menurut David Koplow, seorang profesor hukum di Universitas Georgetown di Washington, DC, adalah bahwa program (pemusnahan senjata kimia) tersebut tidak dikelola dengan baik. "Kepemimpinan program itu berubah berulang kali dan tidak pernah dianggap serius, sebagaimana seharusnya," katanya kepada National Public Radio (NPR).
Ketika pemerintah AS tidak dapat memenuhi batas waktu tahun 2007, Washington kemudian meminta perpanjangan dari Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW), badan pelaksana Konvensi Senjata Kimia, untuk memperpanjang batas waktu hingga 30 September 2023.
AS memenuhi komitmennya pada 7 Juli 2023, ketika menghancurkan stok terakhirnya di Blue Grass Army Depot di Kentucky, dan OPCW mengonfirmasi bahwa "amunisi kimia terakhir dari stok senjata kimia yang diumumkan AS" telah "dihancurkan tanpa dapat diubah kembali."
Senjata kimia adalah bahan kimia beracun apa saja yang bisa mengakibatkan kematian, cedera atau kelumpuhan (cacat), dan juga dianggap sebagai senjata penghancur massal. Dalam satu abad terakhir, banyak negara mengutuk senjata kimia.
Menurut Asosiasi Pengendalian Senjata (Arms Control Association), lembaga swadaya masyarakat yang berkantor pusat di Washington D.C., pakar sejarah memperkirakan sekitar 90 ribu tentara tewas oleh bahan kimia selama Perang Dunia Pertama.
Konvensi Jenewa tahun 1925 melarang penggunaan senjata kimia, tapi gagal melarang pengembangan dan produksinya.
Sejak awal Perang Dunia Pertama hingga berakhirnya Perang Dingin, AS menumpuk stok senjata kimia dalam jumlah besar untuk mencegah negara-negara lain menggunakan senjata kimia yang sama.
Pada satu masa, Amerika Serikat punya sembilan tempat penyimpanan rahasia senjata kimia yang tersebar dari negara bagian Maryland di pantai Timur hingga ke Oregon di pantai Barat, yang menyimpan 28.600 ton bahan kimia.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC), badan nasional kesehatan masyarakat, AS menyimpan enam jenis senjata kimia untuk perang, terutama gas mustard dan gas saraf.
Meski seluruh senjata kimia yang dinyatakan di dunia sudah dimusnahkan, OPWC memperingatkan bahwa sejumlah negara atau kelompok masih memiliki senjata-senjata mematikan.
Korea Utara, yang belum menandatangani CWC, dilaporkan memiliki satu gudang besar senjata kimia, yang kemungkinan menyimpan 5.000 ton senjata kimia.
Suriah, yang menandatangani CWS, mengakui memiliki senjata-senjata kimia pada 2021. Namun, negara itu tidak pernah mau mengungkap seberapa besar stoknya.
OPWC mencatat 142 insiden dugaan penggunaan senjata kimia di Suriah antara 2015 dan 2019. Organisasi itu memerintahkan tim penyelidik dan identifikasi untuk memverifikasi insiden-insiden tersebut dan mengumumkan identitas para pelaku dan korbannya.
Tim Investigasi dan Identifikasi OPWC berhasil menyelesaikan penyelidikan terhadap lima insiden. Pihaknya mengidentifikasi pasukan pemerintah Suriah sebagai pelaku serangan senjata kimia yang membunuh atau mencederai setidaknya 161 korban. Sejumlah dugaan insiden lainnya masih dalam penyelidikan.