Tanggal 12 September lalu tepat 39 tahun terjadinya Tragedi Tanjung Priok, suatu peristiwa bentrokan militer dan warga Tanjung Priok yang berkelindan dengan isu SARA. Laporan resmi menyatakan 24 orang tewas dan 55 lainnya luka-luka. Namun tim investigasi kelompok Solidaritas Nasional atas Peristiwa Tanjung Priok (SONTAK) mengklaim korban tewas mencapai 400 orang, sementara 160 orang yang dicurigai terlibat peristiwa itu ditangkap militer tanpa prosedur atau surat perintah penangkapan.
Meski sudah terjadi hampir empat dekade lalu, luka yang dirasakan para korban, terutama yang masih belum mengetahui keberadaan anggota keluarga mereka yang hilang.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid kepada VOA mengatakan para korban belum melihat kesungguhan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menegakkan hukum atas kasus yang tergolong pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) tersebut.
"Tidak ada lagi perkembangan proses hukum kasus ini setelah seorang mantan petinggi keamanan dalam kasus Tanjung Priok justeru tidak dituntut dan sejumlah perwira menengah ke bawah divonis bebas. Akibatnya adalah negara gagal memberikan penghukuman, gagal memberikan pemulihan hak-hak korban dan keluarganya," kata Usman.
Menurut Usman, lembaganya juga meminta semua pelaku yang terlibat dalam Tragedi Tanjung Priok 1984, termasuk dalangnya, diadili sesuai hukum yang berlaku, berdasarkan prinsip peradilan yang adil. Negara, tambahnya, juga patut menyediakan ganti rugi yang layak bagi keluarga korban yang selama ini menderita akibat tragedi ini – termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Negara, melalui Dewan Perwakilan Rakyat, diserukan untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Setiap Orang dari Penghilangan Paksa agar kejahatan kemanusiaan seperti Tragedi Tanjung Priok tidak terulang lagi.
Ketua Tim PPHAM: Semua Terdakwa Kasus Tanjung Priok Sudah Banding dan Diputus Bebas Tak Bersalah
Ifdhal Kasim yang merupakan wakil ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu mengatakan Tragedi Tanjung Priok memang tidak masuk dalam 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui dan disesalkan oleh Presiden Jokowi. Hal tersebut dikarenakan para terdakwa yang sudah divonis bersalah di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri), mengajukan banding dan telah diputus bebas tidak bersalah oleh Mahkamah Agung.
Sementara 12 kasus pelanggaran HAM yang diakui dan disesalkan Presiden Jokowi adalah kasus-kasus yang belum sampai ke pengadilan tetapi sudah ada justifikasi dari Komnas HAM bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat.
"Jadi kasus itu sudah dimajukan ke pengadilan HAM. Karena kemudian di Mahkamah Agung mereka bebas, karena itu perintah untuk memberikan kompensasi atau rehabilitasi kepada korbannya dengan demikian menjadi tidak bisa dilaksanakan," ujar Ifdhal.
Tapi mantan Ketua Komnas HAM itu menilai para korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok tetap dapat menuntut pemerintah untuk mendapat kompensasi dan rehabilitasi.
Tragedi Tanjung Priok: Adu Mulut Jadi Penembakan Liar
Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru. Dokumen berjudul "Statement of Amnesty International's Concerns in Indonesia" yang diterbitkan Amnesty International pada 1985 mengungkapkan bagaimana pasukan keamanan saat itu menembaki kerumunan umat Muslim yang tengah menggelar aksi protes ke kantor polisi dan markas Kodim Jakarta Utara untuk menuntut pembebasan empat warga yang ditahan. Keempatnya ditahan karena beberapa hari sebelumnya terlibat adu mulut dengan aparat kepolisian terkait pemasangan pamflet jadwal pengajian dan tulisan tentang masalah Islam di era Orde Baru, yang berujung dengan aksi pembakaran motor.
Menurut laporan Amnesty itu, 30 orang ditembak dan tewas, serta lebih dari 200 orang ditangkap. Mereka ada yang dituduh menyerang aparat, menghancurkan properti, dan menyebarkan kabar bohong seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagian lainnya kena tuduhan subversi, yaitu dakwaan yang dapat diganjar hukuman maksimal berupa hukuman mati, seperti yang diatur dalam Dekrit Presiden 11/1963 atau dikenal dengan "Undang-undang Anti Subversi."
Temuan Komnas HAM menunjukkan setidaknya 78 orang menjadi korban, di mana 23 meninggal dan 55 lainnya luka-luka karena tindakan represif aparat. Selain itu, banyak orang ditangkap tanpa proses hukum dan tidak sedikit yang hilang.
MA Tolak Kasasi, Bebaskan Semua Terdakwa
Tragedi Tanjung Priok pernah diproses hukum melalui Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta pada tahun 2003. Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah dan negara diinstruksikan memberikan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya.
Namun permohonan banding para terdakwa ke pengadilan tinggi tahun 2005, dikabulkan dan mereka dibebaskan. Jaksa sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang setahun kemudian ditolak dengan alasan kasus itu bukan merupakan pelanggaran HAM (karena korban bersenjata) dan perkara ini harus diproses di pengadilan pidana, bukan pengadilan HAM ad hoc.
Putusan bebas itu juga mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya, termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Jaksa juga gagal mengungkap peran pihak yang merencanakan, surat dakwaan yang disusun dinilai lemah, dan tidak memberikan perlindungan yang memadai kepada saksi dan korban.
Di luar proses pengadilan, para terdakwa bahkan menawarkan islah kepada korban dan saksi, yang mengakibatkan banyak dari mereka menarik kesaksian atau mencabut pernyataan mereka.
Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, antara lain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius tahun 1982-1985, Tragedi Rumah Geudong di Aceh tahun 1989, penghilangan paksa di tahun 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998. Tragedi Tanjung Priok tidak termasuk dalam 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu itu. [fw/em]
Forum