Di tengah cuaca terik dan angin laut berhembus, FA dan sekitar sepuluh kawannya berkumpul di depan mushola kampung. Rempang, di mana FA tinggal, adalah pulau kecil yang menjadi bagian dari gugusan pulau-pulau di Batam. Dalam dua pekan ini, sebagaimana anak-anak Rempang lain, FA menjadi bagian tak terpisahkan dari konflik sebagai dampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di kawasan itu. VOA hanya menyebut inisial demi keamanan narasumber kami ini pada saat sensitif di Rempang.
“Kami tak nak digusur. Kami nak sekolah ka sini. Kami nak ngaji ka sini. Kami nak main ka sini. Kalau digusur, lapangan ka sana tak luas, disini ramai orang,” kata FA dengan aksen Melayu yang kuat ketika ngobrol dengan VOA.
Rempang memang strategis karena terletak di segitiga emas, dekat dengan Singapura dan Malaysia. Luasnya sekitar 17 ribu hektar. Pemerintah mengklaim hanya kurang dari separuh daerah itu yang akan dikelola sebagai kawasan industri, wisata dan perdagangan dan hunian. Sisanya, akan dibiarkan menjadi hutan.
Pada tahap awal, menurut Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, kawasan ini diminati perusahaan kaca terbesar di dunia asal China, Xinyi Group. Mereka berencana akan menggelontorkan investasi senilai U$11,5 miliar AS atau setara Rp174 triliun sampai dengan 2080.
“Jadi areanya itu kurang lebih sekitar 7.000 (hektare) yang bisa dikelola. Untuk kawasan industrinya, tahap pertama itu kita kurang lebih sekitar 2.000-2.500 hektare,” ungkap Bahlil dalam kunjungan ke Rempang 17 September 2023 lalu.
Tanpa Sosialisasi, Mungkinkah Mencapai Kesepakatan?
Sebagai bagian dari kawasan otorita Batam, Pulau Rempang sebenarnya masuk dalam perencanaan kawasan industri sejak tahun 2001. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD dalam sejumlah kesempatan menjelaskan, persoalan menjadi ruwet karena kesalahan dalam pemberian ijin oleh kementerian ketika itu.
Saat ini ada 16 kampung adat Melayu dengan sekitar 7.500 warga, yang akan terdampak investasi. Bentrok pada 7 September lalu, ketika ribuan aparat keamanan dan warga Rempang, menggambarkan bagaimana perebutan atas tanah pulau itu memuncak.
Untuk meredam aksi kekerasan, pemerintah menjanjikan sejumlah hal. Aparat keamanan ditarik, dan proses dialog akan dilakukan. Menteri Bahlil menyebut pemerintah tidak akan melakukan relokasi, tetapi “pergeseran”. Uang pengganti, rumah dan lahan disiapkan agar warga Rempang menerima rencana ini.
“Proses penanganan rempang harus dilakukan dengan cara-cara yang soft, yang baik. Dan tetap kita memberikan penghargaan kepada masyarakat yang memang sudah secara turun-temurun berada di sana. Kita harus berkomunikasi dengan baik, sebagaimana layaknya lah. Kita ini kan sama-sama orang kampung. Jadi kita harus bicarakan,” kata Bahlil di Batam.
Masalahnya, seperti diceritakan AS, seorang perempuan warga Rempang, sejak awal pemerintah memang tidak melakukan sosialisasi kepada mereka. Kabar soal rencana pendirian pabrik hanya berhembus tak jelas.
AS, sebagaimana banyak warga Rempang saat ini, terlalu takut untuk berbicara kepada media. Namanya juga disamarkan dengan alasan keamanan. Kepada VOA, AS mengaku tidak pernah menerima sosialisasi ataupun sekadar pemberitahuan soal rencana investasi. “Kalau untuk sekarang ini, masyarakat kita masih menolak. Cuma sudah kondusif, tidak seperi kemarin lagi, kita memblok jalan,” kata dia. “Siapa sih yang mau kampung kita, dari lahir disini, nenek moyang kita disini, terus mau dipindahkan ke kampung yang kita enggak tahu,” tambahnya.
AS mengaku heran, ada banyak lahan masih kosong di Rempang, tetapi warga harus dipindahkan untuk pembangunan pabrik. Dia tidak anti pembangunan, bahkan mempersilahkan, tetapi seharusnya warga kampung-kampung Melayu tidak perlu direlokasi.
Selain soal sejarah kampung, di mata AS relokasi juga berdampak pada mata pencaharian mereka. Bagi warga yang mayoritas nelayan, keberadaan dermaga penting, dan belum ada kejelasan apakah di lokasi baru ada fasilitas serupa. Demikian juga bagi warga yang bertani, tidak ada kejelasan apakah kebun mereka akan mendapat pengganti.
“Kita sangat keberatan dengan ini. Cuma kita tak bisa menolak pemerintah. Harapannya, tak mau dipindahkan dari sini,” tambahnya.
Apakah relokasi akan ditaati? Menurut AS kesepakatan warga menjadi kunci. Baginya, pilihan warga kampung akan menjadi keputusan bersama. “Kalau saya sendiri, kita ikut keputusan terbanyak saja. Kalau yang lain mau, kita sendiri tak mau, tak bisa juga. Tapi kalau yang lain tak mau semua, kita ikut yang tak mau,” ujarnya lirih.
Soal relokasi ini, AS dan kebanyakan warga Rempang sudah mendengarnya. Begitu pula terkait rumah pengganti, dan tanah yang disediakan oleh pemerintah di lokasi baru. Masalahnya, kata AS, semua itu masih sebatas janji. Warga masih menunggu ganti rugi yang belum jelas itu. Tidak mungkin, kata AS, meninggalkan rumah yang sekian lama mereka tinggali, tetapi rumah penggantinya bahkan belum jadi.
“Kita juga harus tunggu bagaimana ganti rugi kita yang disini, juga butuh kejelasan itu. Nanti kita tiba-tiba pindah, rumah kita yang disini tidak dibayar. Kita tidak mau,” paparnya.
Berharap Perubahan Pendekatan
Di Rempang, VOA juga menemui Devianti Noor, pegiat sosial yang juga sekretaris Yayasan Bakti Melayu Bersatu. “Kami tidak menghalangi investasi apa saja yang masuk. Tetapi dengan cara yang humanis, dan saling memanusiakan manusia,” katanya.
Devianti belakangan turut mendampingi warga Rempang dalam kemelut yang sedang terjadi. Organiasi di mana Devi bekerja memberikan dukungan moral karena menurutnya fenomena miris yang ada di depan mata itu berpotensi melanggar HAM.
“Kami meminta presiden Indonesia, Pak Joko Widodo untuk memikirkan ulang lagi Rempang Eco City yang masuk dalam Peoyek Strategis Nasional ini, agar tidak dilakukan relokasi dan tidak dilaksanakan dulu. Ini terkait aksi pada 7 sampai 11 September lalu,” tambah Devianti.
Pihaknya juga mendesak Komnas HAM untuk mencari fakta di lapangan dan mengkaji kemungkinan pelanggaran HAM itu. Demikian pula dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang didesak untuk terlebih dahulu membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna membahas persoalan ini. DPR jika perlu mengundang para ahli, mulai dari sejarawan, geologi hingga lingkungan untuk membahas Rempang.
Dalam pernyataan resminya, Anggota Komisi II Guspardi Gaus memang mengaku masih melihat ada upaya berbau kekerasan di Rempang. Guspardi mengungkapkan, ada banyak laporan terkait itu yang masuk kepada dirinya. “Sampai hari ini bertebar WA (WhatsApp) kepada kami dan seluruh anggota dewan dan seluruh masyarakat WA ini bertebaran. Di mana pendekatan-pendekatan anarkis, melakukan pemaksaan itu yang beredar. Oleh karena itu tentu perlu disikapi oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
“Jangan sampai masyarakat dengan adanya proyek strategis nasional ini, malah mereka makin menderita, makin miskin. Bahwa tujuan bernegara ini adalah dalam rangka untuk meningkatkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera,” ujar Guspardi lagi.
Presiden Minta Penyelesaian Rempang Tetap Kedepankan Kepentingan Masyarakat
Presiden Joko Widodo sendiri sudah menggelar rapat terbatas bersama sejumlah bawahannya pada 25 September ini.
“Bapak Presiden dalam arahan rapat pertama adalah untuk penyelesaian masalah Rempang harus dilakukan secara baik, secara betul-betul kekeluargaan, dan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan masyarakat di sekitar di mana lokasi itu diadakan,” papar Bahlil Lahadalia, di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta seusai rapat.
Pemerintah telah memutuskan untuk hanya menggeser warga Rempang dari kampungnya ke lokasi lain tetapi masih berada di pulau yang sama. “Tadinya kita mau relokasi dari Rempang ke Galang, tapi sekarang hanya dari Rempang ke kampung yang masih ada di Rempang,” kata dia memastikan.
Menurut Bahlil, sudah ada 300 kepala keluarga dari total 900 KK yang bersedia dipindahkan. Masyarakat juga akan diberi tanah seluas 500 meter persegi, berikut sertifikat hak miliknya, serta dibangunkan rumah dengan tipe 45.
Dalam proses transisi untuk “pergeseran” tersebut, kata Bahlil, masyarakat juga akan mendapatkan uang tunggu sebesar Rp1,2 juta per orang dan uang kontrak rumah sebesar Rp1,2 juta per KK. Bahlil mencontohkan, jika dalam satu KK tersebut ada empat orang, maka mereka akan mendapatkan uang tunggu sebesar Rp4,8 juta dan uang kontrak rumah Rp1,2 juta sehingga totalnya Rp6 juta.
Sekali lagi ini semua masih di atas kertas, karena hingga laporan ini disampaikan proses “pergeseran” yang sedianya dilakukan secara terbuka dan transparan, justru dilakukan secara diam-diam. Tim VOA yang datang ke lokasi di mana warga “digeser” dilarang mengambil foto dan video. [ns/iy/em]
Forum