Mayoritas penduduk di Jalur Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa tidak mendapat pasokan listrik dan air. Ditambah lagi, mereka terperangkap dan tidak bisa melarikan diri karena serangan Israel yang menghujani daerah kantong kecil itu.
Wilayah Palestina, salah satu tempat paling ramai di dunia, dikepung sejak Sabtu (8/10) dalam aksi pemboman yang dilakukan hampir terus-menerus. Para pejabat kesehatan Gaza menyebut serangan tersebut merenggut nyawa lebih dari 1.000 orang. Serangan kilat tersebut merupakan pembalasan atas serangan dahsyat terhadap Israel yang dilakukan oleh kelompok Hamas yang berkuasa di Gaza, yang menurut klaim militer Israel telah menewaskan lebih dari 1.200 orang.
Satu-satunya pembangkit listrik di Gaza, yang selama berhari-hari beroperasi terputus-putus, akhirnya padam pada Rabu (11/10) setelah kehabisan bahan bakar. Tanpa pasokan listrik, air tidak bisa dialirkan ke rumah-rumah penduduk. Pada malam hari, keadaan di wilayah itu hampir gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan bola api dan cahaya dari ponsel yang digunakan sebagai senter.
“Saya pernah mengalami semua perang dan serangan di masa lalu, tapi saya belum pernah menyaksikan hal yang lebih buruk dari perang ini,” kata Yamen Hamad, 35 tahun, ayah dari empat anak. Rumahnya luluh lantak akibat serangan Israel di bagian utara Gaza, Kota Beit Hanoun.
Di sebuah rumah sakit di Khan Younis di Gaza selatan, kerabat dan handai taulan berbaris di luar kamar mayat yang penuh sesak di mana jenazah dibaringkan di lantai karena pendinginnya penuh atau tidak ada aliran listrik.
Para pelayat sangat ingin segera menguburkan jasad orang-orang yang mereka sayangi sebelum cuaca panas mendera. Mereka menyampaikan pidato singkat dan berdoa agar para korban selalu dalam keadaan damai, sebelum mereka membawanya ke kuburan terdekat, dengan tandu jika tersedia, atau tanpa tandu.
Reuters mewawancarai lebih dari 36 orang di Gaza, dan sebagian besar menyuarakan sentimen yang sama dengan Hamad. Mereka melukiskan ketakutan dan keputusasaan dalam menghadapi apa yang mereka gambarkan sebagai kekerasan terburuk yang pernah mereka saksikan.
Karena satu-satunya perbatasan lain di Jalur Gaza, yakni ke Mesir, diblokir oleh pihak berwenang Mesir, warga mengatakan mereka terjebak. Mereka khawatir kemungkinan terburuk belum terjadi, termasuk kemungkinan invasi darat, karena Israel sedang mewacanakan untuk membalas serangan militan Palestina yang paling mematikan dalam 75 tahun sejarah negara tersebut.
Serangan Hamas mendapat kecaman keras dari Amerika Serikat (AS) dan pemerintah Barat lainnya. Piagam pendirian kelompok militan tersebut pada 1988 menyerukan penghancuran Israel, dan kelompok tersebut dicap sebagai organisasi teroris oleh Israel, AS, Uni Eropa, Kanada, Mesir dan Jepang.
Tak Pernah Terjadi
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant berjanji untuk mengintensifkan serangan militer di Gaza. Ia menegaskan pada Rabu (11/10) bahwa Israel akan menghapus Hamas “dari muka Bumi.”
Beit Hanoun, terletak di dekat perbatasan dengan Israel, adalah salah satu tempat pertama yang terkena dampak serangan balasan Israel. Banyak jalan dan bangunan dil wilayah itu yang hancur dan ribuan orang mengungsi, menurut Hamas dan penduduk setempat.
Tidak ada jalan keluar bagi keluarga Ala al-Kafarneh.
Pria berusia 31 tahun itu mengatakan dia meninggalkan kota tersebut pada Sabtu (7/10) bersama istrinya yang sedang hamil, ayahnya, saudara laki-lakinya, sepupunya dan mertuanya. Mereka berkendara ke Kamp Pengungsi Pantai di pantai, di mana mereka berharap akan lebih aman. Namun serangan udara mulai menargetkan daerah tersebut juga sehingga mereka menuju ke Sheikh Radwan, distrik lain yang lebih jauh ke timur.
Pada Selasa malam, serangan udara menghantam gedung tempat Kafarneh dan keluarganya berlindung, menewaskan mereka semua kecuali dia, tambahnya.
"Kami melarikan diri dari bahaya dan masuk ke dalam kematian," kata Kafarneh di luar Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza. Kepalanya terluka dan bahunya hingga pergelangan tangannya harus digips. Ia duduk di atas trotoar di dekat ratusan orang lain yang tinggal di luar rumah sakit. Beberapa dari mereka berharap rumah sakit tersebut dapat memberikan perlindungan dari serangan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan lebih dari 175.000 warga Gaza mengungsi sejak Sabtu. Beberapa lembaga bantuan di Gaza mengatakan kondisi saat ini adalah yang situasi terburuk yang dapat mereka ingat. Bahkan setelah konflik berulang dan 16 tahun blokade Israel sejak Hamas mengambil alih kekuasaan di sana pada 2007 menyusul perang saudara singkat dengan pasukan yang setia kepada faksi Fatah pimpinan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
“Korbannya warga sipil kali ini… belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Hisham Muhanna, juru bicara Komite Palang Merah Internasional di Gaza.
Di rumah sakit lain, dokter dari Medecins Sans Frontiers, Mohammad Abu Mughaseeb, mengatakan pasokan medis telah berkurang selama bertahun-tahun. Pengepungan Israel yang semakin intensif membuat stok obat-obatan yang sudah menyusut akan habis dalam beberapa minggu, katanya.
“Jika keadaan seperti ini terus berlanjut selama beberapa hari, sistem kesehatan akan runtuh,” katanya setelah tidur di rumah sakit karena rumahnya sendiri rusak akibat ledakan.
Tiadanya pasokan listrik telah memutus sebagian besar pasokan air di daerah kantong tersebut. Para pria dan anak laki-laki berdiri di dekat salah satu pasokan air di Khan Younis, memuat tangki besar ke dalam becak tiga roda, gerobak yang mereka tarik dengan tangan, dan gerobak kecil yang ditarik oleh kuda.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan rumah sakit dan fasilitas medis lainnya yang menggunakan bahan bakar generator diperkirakan akan kehabisan listrik dalam beberapa hari ke depan. Kementerian mengatakan mereka khawatir fasilitas pengolahan limbah juga akan terhenti, sehingga menyebabkan meningkatnya limbah dan penyakit di seluruh wilayah.
Bangunan Runtuh
Fajar di Gaza membawa gambaran kehancuran baru, dengan beberapa blok hancur akibat serangan.
Karena jalan-jalan hancur akibat pemboman tersebut, pekerja pertahanan sipil seringkali tidak dapat mencapai lokasi pengeboman dan penduduk setempat harus mengangkut sendiri puing-puingnya.
"Mereka merobohkan seluruh bangunan. Saya sedang tidur di sini ketika bangunan itu runtuh menimpa saya," kata seorang pria yang berhasil keluar dari bangunan yang runtuh di distrik Zeitoun di Gaza, yang tidak menyebutkan namanya.
Dia dan seorang pria lain sedang melakukan upaya pencarian korban di dalam gedung lain, menggunakan lampu dari ponsel mereka saat mereka menaiki tangga bagian dalam untuk mencapai apartemen yang hancur di mana mereka mengeluarkan beberapa orang yang selamat dan beberapa mayat.
Hamas, sebagai pemerintah de facto Jalur Gaza, mengoperasikan kepolisian, rumah sakit, layanan ambulans, dan departemen darurat sipil.
Sekolah-sekolah PBB telah menjadi tempat perlindungan utama bagi warga Gaza yang mengungsi. Banyak keluarga yang terlihat berkumpul di ruang kelas, ada yang tidur di kasur dan ada yang tidur beralaskan selimut.
Di sebuah sekolah di Kota Gaza, suara ledakan membuat anak-anak ketakutan, sehingga membuat mereka dan orang tua mereka tetap terjaga. Banyak orang duduk di luar di tempat terbuka, takut mereka akan terkubur oleh serangan udara yang merusak bangunan beton.
Di Khan Younis, sebuah ambulans berdiri di ujung gang dengan sirene yang meraung-raung, seorang lelaki duduk di dalam sambil menggendong putrinya yang masih kecil, mata mereka menatap lebar dari wajah yang tertutup debu. "Jangan takut, jangan takut," bisiknya berulang kali. [ah/ft]
Forum