Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengklaim lahan food estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, sudah berhasil memanen jangung yang produktiviitasnya mencapai 6,5 ton per hektare pada Januari ini.
Menurutnya, panen jagung tersebut membuktikan bahwa teknologi pertanian yang diterapkan sudah tepat dan sesuai dengan harapan.
“Dari awal kami sampaikan bahwa kita pasti mampu menggarap lahan food estate tersebut. Kami tidak ragu karena teknologi pertanian kita sudah demikian maju. Kami harapkan segera dapat diikuti panen-panen selanjutnya,” ungkap Mentan dalam siaran pers yang diterima oleh VOA.
Selain itu, hasil panen jagung ini, kata Mentan, juga membuktikan bahwa lahan food estate di Gunung Mas ini sangat potensial dan pemerintah pasti mampu melakukan transformasi teknologi di lokasi ini.
“Untuk sebuah lahan bukaan baru, lahan ini sudah mampu memberikan produksi yang baik. Kuncinya adalah penggunaan benih yang unggul, irigasi dan pemupukan yang optimal. Kita lihat hasilnya saat ini,” tambahnya.
Mentan juga optimis keberhasilan panen jagung ini, akan diikuti dengan panen singkong dalam beberapa waktu ke depan. Pada kunjungan awal ke lokasi food estate Gunung Mas, ia telah meminta para ahli pertanian di Kementan untuk melakukan analisa lapangan dan memastikan teknologi pertanian yang tepat.
“Kita punya ahli pertanian banyak, mereka tidak perlu diragukan kemampuannya. Saya yakin panen jagung akan dilanjutkan panen singkong. Saya sudah melihat progresnya cukup baik. Kita butuh waktu agar optimal nanti hasilnya,” tambahnya.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian bersama Kementerian Pertahanan melakukan penanaman jagung di lokasi food estate Gunung Mas seluas 10 hektare, di samping tanaman singkong yang lebih dulu ditanam Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Mentan menyebutkan hasil dari berbagai program food estate yang sedang dikerjakan di beberapa daerah telah berjalan baik dan sesuai target.
“Food estate ini bukan proyek instan, butuh proses. Kenyataannya kita memiliki 600 hektare lahan yang sebelumnya tidak dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Kami sekarang menggarap itu, butuh proses, butuh teknologi agar menjadi lahan produktif,” jelasnya.
Saat ini, lahan food estate di Indonesia yang dikerjakan pemerintah berada di Humbang Hasundutan seluas 418,29 hektare. Untuk food estate Temanggung dan Wonosobo seluas 907 hektare telah berhasil panen komoditas hortikultura. Sedangkan, Kalimantan Tengah berhasil melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan hingga mampu panen padi dengan produktivitas 5 ton per hektare. Begitu pula di Sumba Tengah NTT dan Kabupaten Keerom Papua yang telah mampu panen raya jagung seluas 500 hektare.
WALHI Kalteng Bantah Klaim Mentan
Sementara itu Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Tengah Bayu Herinata membantah klaim keberhasilan panen jagung di food estate Kalimantan Tengah oleh pemerintah.
Pihaknya, kata Bayu, terakhir meninjau lahan food estate di kabupaten Gunung Mas tersebut pada 23 Januari. Ia menuturkan bahwa setidaknya ada sepuluh hektar lahan yang ditanami komoditas jagung dan singkong masing-masing lima hektare.
Untuk tanaman singkong sendiri yang ditanam pemerintah lebih awal dari 2021 hingga 2023 sama sekali belum panen. Pemerintah sendiri, katanya mulai menanam kembali singkong ditambah jagung pada Oktober 2023.
Pada saat peninjauan terakhir pada 23 Januari, tinggi tanaman singkong itu baru sejengkal orang dewasa. Sementara untuk jagung, ia akui memang bisa tumbuh, tetapi kualitas dari jagung tidak layak untuk dikonsumsi karena sangat kering.
“Kalau melihat masa tanam jagung 60 hari harusnya sudah bisa dipanen untuk bisa dimanfaatkan lagi sebagai bahan pangan. Kondisinya (jagung) sangat kering, jadi tidak tahu (apakah bisa dikonsumsi-red). Mungkin dijadikan bibit lagi atau bagaimana, juga setiap batang jagungnya tidak berbuah maksimal, bulir-bulirnya jarang,” ungkap Bayu.
Maka dari itu, ia pun mempertanyakan klaim keberhasilan panen jagung dari Kementan beberapa waktu lalu tersebut.
“Jadi itu perlu dipertanyakan. Tidak tahu panennya yang sebelah mana. Lahannya memang ada, ada beberapa blok, setidaknya ada dua blok, yakni I blok A dan blok B, yang memang bisa dipanen tapi sudah kelewatan masa panennya. Dengan luasan itu, saya tidak yakin apakah angkanya per ton yang klaimnya itu 6,5 ton per hektare, itu patut dipertanyakan juga,” tuturnya.
WALHI menyarankan kepada pemerintah untuk tidak melanjutkan proyek food estate ini, karena berdasarkan fakta di lapangan, memang tidak pernah berhasil. Proyek yang diklaim untuk memperkuat ketahanan pangan nasional nyatanya malah menimbulkan berbagai permasalahan yang kompleks seperti konflik sosial dengan masyarakat setempat dan kerusakan lingkungan.
“Dampaknya sudah terlihat, proyek food estate di Kalteng dia merampas ruang hidup dan lahan tani masyarakat khususnya masyarakat adat. Jadi hutan yang sebelumnya jadi sumber penghidupan, sumber ekonomi dan lahan pertanian lokal, dikonversi menjadi lahan singkong. Hari ini selain konflik tadi ada juga bencana ekologis dan menyebabkan kerugian di pihak masyarakat khususnya petani,” tuturnya.
WALHI pun mendorong kepada pemerintah untuk segera menghentikan proyek food estate tersebut, dan melakukan pemulihan lingkungan di lahan-lahan food estate yang ada di seluruh Indonesia.
“Argumentasi mereka bilang bahwa ini masih bisa dilakukan, yakni menanam tanaman pangan di sana tetapi harus didukung dengan teknologi yang mumpuni karena mereka melihat misalnya di Timur Tengah, mereka bisa menanam di pasir. Tapi kan disini alokasi untuk pengembangan teknologi pertanian masih sangat-sangat kecil, dan itu perlu proses panjang. Dalam konteks pemenuhan pangan, tidak akan bisa tercapai malah akan banyak berdampak paling cepat yaitu kerusakan lingkungan,” pungkasnya. [gi/ft]
Forum