Polisi dan jaksa di seluruh Asia Tenggara sedang mencari cara baru untuk bekerja sama menggagalkan dan mengejar jaringan kriminal yang luas di balik pusat-pusat penipuan online, yang dengan cepat mengakar di kawasan ini, demikian pernyataan beberapa pakar yang terlibat dalam upaya tersebut kepada VOA.
Dalam beberapa tahun terakhir, pusat-pusat penipuan yang mengeruk miliaran dolar dari para korban di seluruh dunia telah membuka usaha di Kamboja, Laos, Filipina, dan semakin banyak lagi di Myanmar.
PBB memperkirakan ratusan ribu pencari kerja – yang tidak sadar telah dipikat ke dalam operasi tersebut dengan janji-janji pekerjaan yang sebenarnya tidak pernah ada – hanya untuk kemudian dijebak dan dipaksa menjalankan penipuan di bawah ancaman penyiksaan, dan bahkan kematian.
Berantas Scamdemic Perlu Respon Terkoordinasi
Sejumlah pakar mengatakan "scamdemic" yang berskala internasional ini membutuhkan respon yang terkoordinasi dari para penegak hukum di kawasan ini.
Direktur Misi Keadilan Internasional untuk Thailand, Andrew Wasuwongse, mengatakan "masalah perdagangan manusia yang mengarah pada kriminalitas paksa ini jauh lebih transnasional dibandingkan dengan situasi perdagangan manusia yang pernah saya lihat sebelumnya.” Misi ini membantu para korban perdagangan manusia dan bekerja sama dengan pihak berwenang setempat untuk mengungkap para pedagang manusia. “Kelompok perdagangan manusia ini juga jauh lebih canggih, sehingga diperlukan kolaborasi penegak hukum lokal dan internasional," katanya. "Kebutuhannya sangat besar."
Marika McAdam, yang telah menjadi konsultan untuk PBB dan pihak-pihak lain dalam masalah ini, mengatakan mengingat jaringan kriminal yang menjalankan penipuan ini melintasi batas negara, maka bukti yang diperlukan untuk menangkap mereka juga harus demikian. Artinya masalah ini "tidak dapat diatasi secara sepihak.” Ditambahkannya, “untuk melakukan sesuatu yang efektif dalam hal ini, kita harus melibatkan negara-negara yang terkena dampak, yang jumlahnya sangat banyak.”
Mereka dan pihak-pihak lain mengatakan kolaborasi telah dimulai dan semakin meningkat.
UNODC Siap Lawan Praktik “Belanja Yurisdiksi”
Benedikt Hofmann, Pejabat PBB untuk Kantor Narkoba dan Kejahatan untuk Asia Tenggara dan Pasifik (UNODC), mengatakan "telah meningkatkan kerjasama dalam beberapa tahun terakhir dengan melakukan penggerebekan, dan juga pemulangan orang-orang yang berhasil diselamatkan dari tempat penipuan.” Ditambahkannya, "kami melihat peningkatan saling berbagi informasi dan fokus pada masalah ini karena negara-negara bekerja sama di seluruh yurisdiksi. Tidak mungkin kami melakukan beberapa penggerebekan berskala besar tanpa koordinasi operasional."
Ia merujuk pada operasi di Kamboja dan Myanmar yang membebaskan korban perdagangan manusia, atau berhasil membuat mereka menutup pusat-pusat penipuan. Informasi dari pihak berwenang saat ini juga mencakup data intelijen tentang para tersangka dan bagaimana mereka memindahkan uang kotor mereka melintasi perbatasan, tambahnya.
Namun, ia mengatakan upaya-upaya tersebut sebagian besar bersifat ad hoc di mana wilayah dan ruang lingkupnya terbatas, yang memungkinkan jaringan kriminal untuk mendirikan jaringan di tempat lain di wilayah tersebut, biasanya di mana jangkauan dan pengawasan pemerintah paling lemah. Praktik ini dijulukinya sebagai "belanja yurisdiksi."
UNODC mencoba untuk melawan operasi itu dengan membantu kawasan ini melakukan serangan balik yang lebih komprehensif. Pada bulan September, bersama dengan ASEAN dan China – negara di mana kebanyak korban berasal dan memiliki jaringan yang rumit – UNODC meluncurkan "peta jalan" untuk melakukan hal tersebut.
Rencana tersebut meminta negara-negara di Asia Tenggara untuk berbagi lebih banyak informasi tentang pusat-pusat penipuan di masing-masing wilayah mereka, dan membentuk tim nasional khusus yang mencakup lembaga-lembaga pemerintah. Tim-tim itu dimaksudkan untuk saling
bekerja sama dan bertemu setiap tahun. Hofmann mengatakan negara-negara tersebut masih bekerja untuk menyatukan tim mereka. [em/ka]
Forum