Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengumumkan pada 23 April bahwa AS sedang membahas dengan Niger mengenai penarikan mundur tentara AS dari wilayah negara itu. Tidak ada waktu yang ditetapkan untuk penarikan mundur pasukan AS dan AS akan terus bekerja sama dengan mitranya di kawasan Sahel untuk mengatasi ancaman terorisme, kata sekretaris pers Pentagon Mayjen Pat Ryder.
Sejak mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada Juli 2020, junta Niger dengan tegas memutuskan hubungan dengan sekutu-sekutu Baratnya. Pertama dengan mengakhiri dua kontrak militer dengan Uni Eropa yang diikuti dengan pengusiran pasukan Prancis, dan kini beralih dari sekutu lamanya, Amerika Serikat.
“Ketika pemain utama lainnya di Sahel menyerah kepada kekuasaan militer dan pengaruh Rusia, tindakan Niger menandakan transformasi geopolitik yang mendalam, yang berpotensi membentuk kembali keseimbangan kekuatan dan stabilitas di Afrika Barat,” lapor analis Defense One, Aja Melville, pada Selasa, 23 April.
Merangkul Rusia merupakan hal yang lebih mudah bagi junta. Tidak seperti sekutu Barat, Moskow tidak mensyaratkan kemitraan dan bantuan militer berdasarkan ketentuan etika dan politik, tulis Melville.
Seminggu sebelumnya, pengerahan pertama Korps Afrika Kementerian Pertahanan Rusia, yang merupakan bentukan ulang dari Grup Wagner yang terkenal kejam, tiba di Niger untuk memasang sistem pertahanan udara buatan Rusia dan melatih pasukan junta, demikian yang dilaporkan stasiun televisi pemerintah Tele Sahel.
Untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Afrika, Rusia telah meluncurkan serangkaian inisiatif diplomatik, ekonomi, dan militer, mulai dari menjadi tuan rumah forum tahunan Afrika di bawah naungan Presiden Vladimir Putin hingga mendanai kampanye propaganda besar-besaran untuk menutupi citra Rusia dari noda kekerasan dan korupsi yang ditinggalkan oleh pasukan Wagner.
Pihak yang berperan penting dalam menyebarkan disinformasi di benua Afrika adalah kantor berita multibahasa milik negara Rusia, Sputnik, yang pada 13 April menampilkan wawancara dengan analis Benine, Suleiman Azmat. Azmat memuji transisi Niger menuju Rusia.
Polygraph.info meneliti latar belakang analis tersebut, tetapi tidak dapat memverifikasi hubungannya dengan sejumlah wadah pemikir atau institusi mana pun di Benin.
''Tidak seperti pasukan Barat yang selalu berada di pihak berlawanan dalam pertempuran di Republik Afrika Tengah, Burkina Faso, Mali dan Niger, pasukan Rusia telah membantu berbagai negara untuk mendapatkan kembali wilayah tersebut,'' kata Azmat.
Klaim-klaim tersebut tidak benar.
Amerika Serikat berinvestasi dalam memperkuat keamanan kawasan Sahel senilai lebih dari $3,3 miliar selama dua dekade terakhir. Jumlah tersebut belum termasuk bantuan kemanusiaan, medis, dan ekonomi. Antara 2001 dan 2020, AS melatih setidaknya 86.000 pasukan kontraterorisme di wilayah tersebut, termasuk hampir 18.000 tentara di Niger.
Sebelum kudeta pada Juli 2023, AS mempertahankan kehadiran militer yang signifikan di Niger berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Niger. Dua pangkalan militer AS, yaitu Pangkalan Udara 101 dan Pangkalan Udara 201 senilai $100 juta menampung sekitar 1.100 personel. Keduanya berlokasi strategis sehingga memungkinkan pasukan AS menggunakan drone dalam operasi kontraterorisme melawan cabang lokal al-Qaeda dan ISIS di seluruh Afrika Barat.
Sebelum diusir dari Mali pada tahun 2023, misi militer Prancis yang berkekuatan 5.100 orang untuk membasmi jihadis yang kejam di Sahel bertindak sebagai bagian dari Operasi Barkhane, yang membantu membunuh Adnan Abou Walid al-Sahrawi, kepala ISIS di Sahara Besar.
Penarikan pasukan Prancis dari Mali meninggalkan pengalaman pahit ketika pangkalan yang pernah didudukinya diambil alih oleh kelompok paramiliter Wagner Rusia.
Bertentangan dengan analisis Sputnik, dampak kehadiran Rusia di Sahel jauh dari positif dan pernyataan Azmat mencerminkan narasi Kremlin. Para pejabat Rusia menyebut Grup Wagner sebagai “instruktur Rusia” yang telah “menyelamatkan” negara-negara Afrika dan makin “memperkuat perdamaian dan stabilitas.”
Rusia menciptakan “ekosistem disinformasi dan propaganda” untuk secara keliru menggambarkan Wagner sebagai “memainkan peran positif” di Sahel, kata Departemen Luar Negeri AS pada 8 Februari.
Kegiatan Wagner Group di negara-negara Afrika tercemar oleh korupsi, kekerasan dan kejahatan perang.
Dalam salah satu contoh yang terdokumentasi dengan baik di Republik Afrika Tengah, pasukan Wagner “menggunakan pembunuhan tanpa pandang bulu, penculikan dan pemerkosaan untuk menguasai wilayah pertambangan utama di dekat kota Bambari, dan para penyintas menggambarkan serangan tersebut secara terperinci.”
Setelah kudeta militer pada 2021 di Mali, Grup Wagner mengerahkan 400 tentara bayaran yang diperkuat dengan jet L-39, pesawat tempur Sukhoi-25, dan helikopter tempur Mi-24P, yang diduga untuk melawan kelompok jihadis setempat.
Setahun setelah kedatangan Rusia, situasi di Mali memburuk. Sedikitnya 2.000 warga sipil tewas dalam meningkatnya serangan kekerasan, The Associated Press melaporkan, mengutip data dari Proyek Data Lokasi & Peristiwa Konflik Bersenjata.
Personel Grup Wagner terlibat dalam sejumlah besar kematian dan korban sipil, kata laporan itu.
Setelah kedatangan pasukan Rusia, “…para ekstremis ISIS telah menguasai hampir dua kali lipat wilayah yang mereka kuasai di Mali dalam waktu kurang dari setahun,” kesimpulan panel ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 3 Agustus 2023.
Dalam laporan 2024, Human Rights Watch memperingatkan bahwa situasi hak-hak manusia di Mali "makin memburuk secara signifikan sepanjang 2023 karena serangan-serangan terhadap warga sipil oleh kelompok-kelompok Islamis bersenjata ... dan operasi kontraterorisme skala besar yang kejam oleh angkatan bersenjata Mali dan para kombatan asing terkait, meningkat.”
Di Burkina Faso, Korps Afrika Rusia, perwujudan Wagner yang diberi nama baru, telah memperluas kehadirannya sejak Januari, dengan pengiriman senjata dan pengerahan sekitar 400 tentara yang tiba untuk membantu memulihkan keamanan dan perdamaian.
Tapi kekerasan terus meningkat, dan lebih dari dua juta orang mengungsi, sementara sistem kesehatan dan pendidikan lumpuh.
"Di Burkina Faso pada 2023, kematian akibat terorisme melonjak 68 persen," menurut Indeks Terorisme Global dalam laporan 2024, yang dibuat oleh Institute for Economics and Peace.
GTI juga melaporkan bahwa pusat terorisme global telah bergeser dari Timur Tengah ke wilayah Sahel Tengah di Afrika sub-Sahara, yang kini menyumbang lebih dari separuh kematian akibat terorisme.
"Sahel menjadi wilayah paling terdampak, menyumbang 43 persen dari kematian akibat terorisme global, meningkat 7 persen dari tahun sebelumnya,"kata GTI.