Penempatan ratusan "balon sampah" oleh Korea Utara di atas Korea Selatan telah menggarisbawahi kekhawatiran bahwa meningkatnya ketegangan di Semenanjung Korea bisa terus memuncak.
Penyebab yang diduga dari kampanye balon sampah Korea Utara — pembalasan atas penempatan balon berisi selebaran yang mengkritik rezim Kim Jong Un oleh warga Korea Selatan — telah terdokumentasikan dengan baik.
Namun, media pemerintah Rusia berupaya memanfaatkan skeptisisme media untuk menyesatkan pemirsanya atas tindakan Pyongyang, dan pelaporan media Barat tentang tindakan tersebut.
Hal itu dicontohkan dalam sebuah artikel dari koresponden Sputnik Globe yang berbasis di Moskow, Ilya Tsukanov, yang berjudul "Apa yang Tidak Diberitakan Media Barat Tentang Kampanye Balon Sampah Korea Utara."
"Dikecam oleh sekutu-sekutu Washington di Korea Selatan sebagai 'tidak masuk akal,' 'tidak rasional' dan 'provokasi kelas rendah,' deklarasi perang balon sampah oleh Republik Rakyat Demokratik Korea sebenarnya merupakan respons terhadap hasutan balon propaganda Korea Selatan yang sudah berlangsung puluhan tahun," tulis Tsukanov.
(Pernyataan) itu menyesatkan.
"Media Barat" secara luas telah melaporkan tentang pengerahan balon oleh aktivis Korea Selatan yang membawa Alkitab, obat-obatan, thumb drive berisi K-pop dan K-drama, dan selebaran yang menghina pemimpin Korea Utara.
BBC, Associated Press, Vox, Bloomberg, New York Times, dan banyak media arus utama lainnya telah memberikan penjelasan tentang "drama balon" yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Para analis yang berbicara kepada media di Korea Selatan juga telah mempertanyakan efektivitas dan motivasi kampanye anti-Pyongyang.
Tsukanov memperkuat tuduhan Korea Utara bahwa balon-balon dari Selatan "dapat digunakan untuk tujuan militer tertentu," dan mengulangi tuduhan tak berdasar Pyongyang bahwa Seoul dapat menggunakannya untuk menyebarkan "virus."
Sputnik mengatakan "hasutan balon propaganda Korea Selatan ... sudah ada sejak puluhan tahun lalu," dan bahwa "kampanye perang balon sampah Korea Utara tampaknya merupakan sinyal bahwa Pyongyang sudah muak dan tidak lagi siap untuk menoleransi provokasi Seoul yang terus berlanjut tanpa tanggapan."
Pernyataan (framing oleh Tsukanov) itu mengabaikan fakta bahwa kedua belah pihak secara berkala telah terlibat dalam praktik ini sejak Perang Korea dan bahwa Korea Utara mengirimkan balon-balon berisi puntung rokok dan pesan-pesan yang menghina mantan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye pada tahun 2016.
Pada saat itu, Korea Selatan menanggapi dengan melanjutkan siaran pengeras suara di dekat perbatasan (Korut) yang mencakup lagu-lagu pop dan kritik terhadap rezim Korea Utara. Seoul juga mempertimbangkan untuk melanjutkan siaran tersebut sebagai tanggapan atas kampanye balon sampah terbaru Pyongyang.
Namun, tidak seperti upaya yang disponsori pemerintah Pyongyang untuk mengirim balon berisi sampah ke selatan, pemerintah Korea Selatan tidak mengirim balon selama beberapa dekade, meskipun para aktivis Korea Selatan telah melakukannya.
Toleransi Seoul terhadap para aktivis ini bervariasi dari waktu ke waktu tergantung pada tindakan Korea Utara. Drama balon tampaknya meningkat setelah eskalasi besar, seperti tenggelamnya kapal Angkatan Laut Korea Selatan ROKS Cheonan pada Maret 2010, yang menurut penyelidikan internasional disebabkan oleh rudal Korea Utara.
Pada tahun 2020, pemerintah Korea Selatan menjadikan penyebaran selebaran anti-Pyongyang sebagai tindak pidana yang dapat dikenai hukuman penjara, tetapi pada bulan Desember 2023 Mahkamah Agung negara itu membatalkan undang-undang tersebut dengan alasan (melanggar) kebebasan berbicara.
Tsukanov dari Sputnik juga mengulangi klaim Pyongyang bahwa "serangan balon sampahnya merupakan reaksi balasan terhadap 'pelanggaran provokatif' oleh Korea Selatan terhadap kedaulatan Korea Utara, menggunakan segala hal mulai dari latihan dan pesawat nirawak mata-mata hingga kampanye penyebaran selebaran propaganda."
Sementara Tsukanov menuduh media-media Barat melakukan pelaporan yang salah, dia tidak menyebutkan berbagai ancaman yang sering dilakukan Korea Utara. Artikel Sputnik tersebut samasekali tidak menyebutkan peluncuran rudal balistik Pyongyang yang dilakukan berulang kali di dekat perbatasan Korea Selatan; upaya untuk meluncurkan satelit pengintaian militer yang melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB; uji coba senjata nuklir ilegal dan simulasi serangan senjata nuklir di Korea Selatan; kampanye pengacauan GPS yang berulang yang telah berlangsung lebih dari satu dekade; dan infiltrasi pesawat nirawak (drone) oleh Pyongyang.
Laporan Sputnik Globe memuat fakta bahwa Kim Jong Un memerintahkan penghancuran kantor penghubung (Pyongyang) dengan Seoul di Kaesong yang didanai Korea Selatan pada tahun 2020 sebagai tanggapan atas aktivis Korea Selatan yang mengirim gambar cabul melewati perbatasan.
Saat itu, koresponden BBC di Seoul Laura Bicker mengatakan bahwa Pyongyang kemungkinan menggunakan kampanye selebaran propaganda itu sebagai "alasan" untuk meledakkan gedung tersebut.
Bicker mengatakan penggambaran Pyongyang tentang para pembelot Korut yang berpartisipasi dalam kampanye balon sebagai "sampah" dalam laporan media pemerintah setelah penghancuran gedung dimaksudkan untuk memberi warga Korea Utara "alasan" untuk "bersatu di tengah sanksi internasional yang ketat dan kurangnya kesejahteraan ekonomi (mereka)."
Kesenjangan yang besar antara kualitas hidup warga di kedua negara juga memicu meningkatnya sikap agresif Pyongyang, karena propaganda domestik tradisional dilaporkan menjadi tidak efektif.
"Pada tahun 1990-an, jelas bahwa propaganda Korea Utara kehilangan relevansinya karena ekonomi Korea Selatan melaju pesat," harian New York Times melaporkan pada tanggal 2 Juni 2024 lalu.
"Korea Selatan telah (berkembang) menjadi negara demokrasi yang dinamis dan pusat ekspor global, sementara Korea Utara menderita kekurangan pangan kronis dan bergantung pada pemujaan terhadap tokoh dan pemadaman informasi total untuk mengendalikan rakyatnya," tambah laporan New York Times.
Setelah tertinggal jauh dari tetangganya di Selatan, Korea Utara telah meninggalkan upaya reunifikasi, menurut para analis di United States Institute of Peace, sebuah lembaga federal Amerika yang didanai oleh Kongres AS. Hal ini menandakan bahwa Pyongyang sekarang percaya bahwa "pemisahan politik dan hukum yang menyeluruh dari Korea Selatan" adalah "strategi bertahan hidup terbaiknya," kata laporan tersebut.
Kim Jong Un bahkan menyebut K-pop dan K-drama (DraKor) yang dikirim warga Korea Selatan melalui perbatasan melalui stik USB sebagai "kanker ganas," serta menggarisbawahi ancaman kekuatan lunak Seoul terhadap "kerajaan pertapa" yang menganut isolasionisme itu.
K-pop dan DraKor telah berkembang menjadi fenomena budaya global, menunjukkan kemajuan demokrasi dan ekonomi Seoul serta memperluas pengetahuan dunia luar tentang Korea Selatan.