Warga Haiti berusaha keras untuk mendapatkan makanan dan banyak orang mengatakan, perubahan tidak dapat terjadi dengan cepat di negara Karibia tersebut.
Di ibu kota, Port-au-Prince, konflik dengan geng-geng bersenjata telah memutus akses kota ke pemasok, melumpuhkan rute perdagangan dan mendorong Haiti ke tingkat kelaparan tertinggi dalam sejarah.
Salh seorang warga, Mirriam Auge, kini tinggal di tempat penampungan darurat di sebuah sekolah.
“Inilah bagaimana kami hidup, duduk di sini setiap hari. Tidak ada makanan kecuali ada organisasi mengirim sesuatu kepada kami untuk dimakan. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi.”
Sekitar lima juta orang kesulitan mendapatkan makanan akibat konflik tersebut, menurut Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu. Klasifikasi itu adalah tolok ukur internasional yang digunakan untuk menilai kelaparan.
Melonjaknya harga pangan juga memicu krisis ini. Harga ikan segar naik sebesar 60% pada Maret dibandingkan pada tahun lalu, menurut badan statistik Haiti.
Rita Losandieu mengasuh kedua cucunya, yang berusia empat dan enam tahun. Putra-putranya bekerja serabutan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup. “Semuanya sangat mahal. Membeli sesuatu untuk dimakan menjadi persoalan tersendiri. Anda harus punya banyak uang untuk membeli cukup untuk tiga kali makan, itu sangat sulit,” katanya.
Karena tidak dapat bekerja, banyak keluarga yang bergantung pada jatah makanan dan peralatan kebersihan yang diberikan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
Program Pangan Dunia (WFP) adalah pemasok makanan utama. Namun dengan adanya kelompok bersenjata yang menguasai beberapa rute, Direktur WFP Haiti, Jean-Martin Bauer, mengatakan bahwa mengangkut makanan bisa menjadi persoalan yang rumit.
“Apa yang kami lakukan sebagai respons adalah memperpendek rantai pasokan kami. Jadi di luar Port-au-Prince, kami berusaha melakukan sebanyak yang kami bisa dengan petani lokal, seperti yang saya katakan, kami bekerja dengan 170 organisasi petani dengan 20 ribu anggota untuk memasok makanan yang digunakan untuk program kami, dan itu sudah sangat berhasil,” katanya.
Dia juga menunjukkan, dana kemanusiaan PBB untuk Haiti pada 2024 yang jumlahnya lebih dari $500 juta masih di bawah target yang ditetapkan.
Presiden terakhir Haiti sendiri tewas dibunuh pada tahun 2021.
Sejak saat itu, geng-geng bersenjata telah memperluas kekuasaan dan pengaruhnya, sehingga mengakibatkan penjarahan, pembakaran, pemerkosaan massal, dan pembunuhan tanpa pandang bulu. Pada Juni, gelombang pertama pasukan yang sebagian besar berasal dari Afrika dan didukung oleh PBB tiba di Haiti untuk meningkatkan jaminan keamanan. Dan polisi Kenya sudah mulai berpatroli di ibu kota.
Perdana Menteri Haiti, Garry Conille, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB pada Rabu (3/7), bahwa langkah tersebut menandai tahap penting dalam memulihkan keamanan.
“Kedatangan kontingen pertama Dukungan Keamanan Multinasional memulai era baru di Haiti,” kata dia.
Warga sangat optimistis, meskipun tidak jelas kapan sebagian besar pasukan yang lain akan tiba. [ns/ka]
Forum