Setelah bertahun-tahun hutan tua ditebang, banyak lahan kosong di Indonesia dibiarkan terbengkalai. Menurut studi yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, lahan-lahan tersebut sering kali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit baru ketika akhirnya dimanfaatkan.
Namun sejumlah ahli, termasuk para penulis studi tersebut, melihat potensi positif: kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan komoditas pertaniannya seperti kelapa sawit, bubuk kertas, dan lainnya tanpa harus melakukan penebangan lebih banyak pohon. Langkah tersebut diyakini dapat memenuhi permintaan yang semakin tinggi dari perusahaan dan pemerintah terhadap produk-produk tersebut tanpa mengandalkan deforestasi.
"Mungkin ada harapan bahwa jika negara ini bisa fokus pada lahan-lahan non-hutan yang tidak aktif ini... negara ini berpotensi menurunkan deforestasi hingga nol, dan masih memiliki banyak peluang untuk pembangunan ekonomi," ujar Diana Parker, seorang rekan pascadoktoral di Departemen Ilmu Geografis Universitas Maryland dan penulis utama studi tersebut.
Indonesia memiliki salah satu dari tiga hutan hujan terbesar di dunia, tempat tinggal bagi berbagai satwa liar dan tumbuhan langka yang terancam punah seperti orangutan, gajah, dan bunga hutan raksasa. Beberapa dari mereka bahkan hanya ada di Indonesia.
Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia yang juga memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Minyak sawit, selain digunakan untuk memasak, juga digunakan untuk berbagai produk sehari-hari, seperti sabun. Sedangkan nikel digunakan dalam pembuatan kendaraan listrik, panel surya dan berbagai produk untuk transisi energi hijau.
Sejak 1950, lebih dari 74 juta hektar (285.715 mil persegi) hutan hujan di Indonesia, luasnya dua kali lipat dari Jerman, telah ditebang, dibakar, atau mengalami degradasi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, kertas, karet, tambang nikel, dan komoditas lainnya, menurut Global Forest Watch.
Sejak 1990, sekitar 25 persen dari hutan tua, yang umumnya kaya akan keanekaragaman hayati dan menyimpan karbon tinggi, telah ditebang, menurut studi yang meneliti deforestasi di Indonesia dari 1991 hingga 2020.
Menurut Parker, meskipun terjadi peningkatan deforestasi pada 2023, laju deforestasi secara keseluruhan melambat dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan dengan tingkat puncak yang terjadi beberapa dekade sebelumnya. Meskipun ada 8,8 juta hektare (33.977 mil persegi) lahan gundul di Indonesia yang masih kosong, sebanyak 7,8 juta hektare (30.116 mil persegi) telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak 2020, menurut laporan tersebut.
"Sekitar 80 persen lahan tidur yang dibuka secara mekanis dan diubah menjadi produktif akhirnya menjadi perkebunan kelapa sawit,” ujar Parker.
“Ini berarti bahwa dampak lingkungan dari industri kelapa sawit mungkin jauh lebih besar dibandingkan dengan luas tanaman yang langsung ditanam setelah deforestasi, dan bahkan berpotensi lebih besar dari total area deforestasi yang saat ini ditanami untuk kelapa sawit,” imbuhnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tidak berkomentar saat ditanya AP.
Para ahli menyayangkan pembukaan lahan yang membuatnya tidak terpakai, tetapi ada yang bertanya-tanya apakah ini akan memberi keuntungan bagi Indonesia dalam persaingan dengan pemerintah dan perusahaan yang berusaha mengurangi deforestasi dari rantai pasokan komoditas.
Sebagai contoh, berdasarkan Kebijakan Deforestasi Uni Eropa yang akan berlaku pada akhir tahun ini , beberapa komoditas seperti minyak kelapa sawit tidak boleh diimpor ke UE jika diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah 2020. Pemerintah menentang keras kebijakan itu.
David Gaveau, ilmuwan lingkungan dan pendiri The TreeMap yang melacak degradasi lingkungan, mengatakan, “Fakta bahwa Indonesia memiliki begitu banyak lahan kosong saat ini berarti bahwa Indonesia dapat meningkatkan hasil pertaniannya untuk berbagai komoditas tanpa perlu membuka lebih banyak hutan. Mari kita manfaatkan lahan ini untuk meningkatkan pertanian daripada mengubah hutan baru,” ujarnya. [ah/ft]
Forum