Indonesia pada Kamis (3/10) mengatakan bahwa usulan penundaan pelaksanaan undang-undang antideforestasi Komisi Eropa merupakan sebuah langkah yang baik, sambil mengatakan bahwa masalah yang lebih mendesak adalah regulasi pelaksanaannya, ketimbang kerangka waktu pelaksanaan.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kepada Reuters bahwa Uni Eropa harus membatalkan sistem pemeringkatan negara terkait isu deforestasi, di mana Komisi Eropa akan menentukan negara mana yang tergolong berisiko tinggi, standar dan rendah dalam hal kepatuhan terhadap peraturan deforestasi.
Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) melarang UE mengimpor berbagai komoditas yang terkait dengan perusakan hutan.
Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia dan telah lama mengkritik keras undang-undang tersebut, dengan alasan bahwa undang-undang itu merugikan petani kecil dan mendiskriminasi industri minyak sawitnya.
UE adalah pasar ekspor terbesar keempat Indonesia pada tahun 2023, yang menerima 11,5 persen ekspor minyak sawit Indonesia.
“Yang jadi masalah bukan penundaannya, tapi regulasi pelaksanaannya,” kata Airlangga, seraya menambahkan bahwa penundaan idealnya berlangsung selama dua tahun, bukan 12 bulan.
“Uni Eropa tidak berhak menjadi lembaga pemeringkat,” ujarnya.
Meski demikian, asosiasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyambut baik usulan penundaan pelaksanaan undang-undan
disebutnya akan memberi lebih banyak waktu bagi industri untuk mempersiapkan diri.
“Kami akan terus mengadvokasi regulasi mana yang memberatkan atau tidak sesuai dengan hukum Indonesia… Uni Eropa juga harus memahami kondisi kami,” kata Ketua GAPKI Eddy Martono kepada Reuters.
Malaysia, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, juga menentang keras kebijakan Uni Eropa tersebut, dengan menyebutnya sebagai upaya yang disengaja untuk meningkatkan biaya dan hambatan bagi sektor minyak sawitnya.
Dewan Minyak Sawit Malaysia pada Kamis (3/10) menyebut langkah tersebut sebagai keputusan yang masuk akal, yang akan memungkinkan rantai pasok di seluruh dunia untuk mematuhinya.
Kementerian Komoditas dan Perkebunan Malaysia tidak segera membalas permintaan tanggapan.
Menteri Airlangga mengatakan, Indonesia menentang penggunaan sistem penanda geografis (geo-tangging) untuk keterlacakan produk. Ia juga mendesak Uni Eropa untuk mengakui perjanjian pengakuan bersama yang sudah ada tentang aspek keberlanjutan minyak kelapa sawit. [rd/rs]
Forum