Konflik meletup lagi di Suriah setelah pasukan pemberontak menyerbu Provinsi Aleppo di Utara Suriah Rabu pekan lalu. Hanya dalam tiga hari, mereka berhasil menguasai Kota Aleppo. Para pemberontak kini juga mengepung kota Hama.
Pemberontak pernah menguasai Aleppo pada tahun 2012 hingga 2016 sebelumnya akhirnya kalah dan berlindung di Provinsi Idlib.
Menanggapi perkembangan tersebut, dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Kamis (5/12), Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menjelaskan, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Damaskus sudah menyiapkan rencana kontingensi perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di Suriah.
Dia menambahkan salah satu rencana kontingensi tersebut adalah menetapkan delapan provinsi di Suriah dengan status Siaga 1.
"Jadi saat ini KBRI Damaskus telah memiliki rencana kontingensi perlindungan WNI dan sesuai dengan rencana kontingensi tersebut, kita telah meningkatkan status beberapa provinsi di wilayah Suriah menjadi Siaga 1 yaitu Aleppo, Idlib, Hama, Deir Ez-Zor, Hasaka, Raqqa, Daraa, Suwaida. Ini adalah provinsi-provinsi yang kita nilai berbahaya dan dapat mengancam keselamatan WNI kita," kata Judha.
Judha menambahkan Deir Zour, Hasaka, dan Raqqa sudah ditetapkan status Siaga 1 sejak tahun lalu. Selain itu, menurut Judha, KBRI juga menetapkan Siaga 2 untuk enam provinsi lain di Suriah, yaitu Latakia, Homs, Suwaida, Tartus, Damaskus, dan Rif Damaskus.
Judha mengungkapkan saat ini tercatat ada 1.162 WNI di Suriah, yang mayoritasnya adalah pekerja rumah tangga dan pelajar. Mereka tersebar di berbagai wilayah, termasuk 29 yang di Aleppo dan enam di Hama. Aleppo dan Ham adalah dua wilayah yang menjadi pusat pergolakan di Suriah.
Menurut catatan KBRI, saat ini tercatat 758 WNI tinggal di Damaskus, 321 di Hasaka , 17 di Tartus, 20 di Latakia, dan 8 di Rif Damaskus.
Judha mengatakan sejak tahun lalu pemerintah sudah mengevakuasi 1.220 warga Indonesia dari wilayah konflik di Timur Tengah, termasuk Suriah.
"Beberapa langkah sudah kita lakukan, antara lain melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, kita perbarui rencana kontingensi, kita lakukan evaluasi penetapan status siaga, membahas proses evakuasi, kita siapkan shelter, safe house yang ada di KBRI," ujarnya.
Dia menjelaskan, pemerintah pusat di Jakarta juga sudah membentuk Pusat Respons Krisis yang meliputi unsur-unsur dari Kementerian Luar Negeri, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin mengatakan perang yang terjadi Suriah saat ini merupakan kelanjutan dari perang yang meletup sebelumnya pada 2011. Dia menekankan yang memperburuk situasi adalah karena konflik tersebut melibatkan proksi negara-negara besar. Rusia, ungkapnya, mendukung rezim Assad sementara Barat menyokong pemberontak.
Rosyidin menepis kemungkinan Indonesia ini bisa berperan dalam membantu mengakhiri perang di Suriah. Ia mengatakan, fokus Indonesia saat ini hanyalah Palestina.
Ketika ditanya apakah ISIS yang merupakan singkatan dari Negara Islam Irak dan Suriah, akan kembali muncul di Suriah dengan memanfaatkan perang yang sedang terjadi, Rosyidin menjawab bahwa ia merasa kurang yakin. Tapi dia mengatakan, sel-sel ISIS kemungkinan akan aktif memanfaatkan momentum ini.
Dia menambahkan ISIS bisa saja melakukan konsolidasi dan kemudian menjelma sebagai organisasi dalam bentuk lain. Dia mengkhawatirkan, kalau perang di Suriah berlarut-larut, kemungkinan kebangkitan ISIS akan sulit diatasi. [fw/ab]
Forum