Pembicaraan yang dijadwalkan pada Minggu (15/12) antara para pemimpin Rwanda dan Republik Demokratik Kongo untuk mengakhiri konflik di Republik Demokratik Kongo bagian timur dibatalkan setelah perundingan menemui jalan buntu, kata para pejabat.
Sejak 2021, milisi pemberontak yang didukung Rwanda telah menguasai sebagian besar wilayah timur RDK, membuat ribuan orang mengungsi dan memicu krisis kemanusiaan.
Ada harapan besar bahwa pertemuan puncak yang diselenggarakan oleh Presiden Angola Joao Lourenco - mediator Uni Afrika untuk mengakhiri konflik - akan berakhir dengan kesepakatan untuk mengakhiri konflik. Namun sekitar Minggu tengah hari, kepala kantor media kepresidenan Angola mengatakan bahwa pertemuan itu tidak akan diselenggarakan.
“Berlawanan dengan apa yang kita harapkan, pertemuan itu tidak akan diadakan hari ini,” kata kepala kantor media Mario Jorge kepada para wartawan. Lourenco bertemu dengan pemimpin Republik Demokratik Kongo Felix Tshisekedi dan tanpa Presiden Rwanda Paul Kagame, katanya.
Kepresidenan Kongo mengatakan bahwa perundingan telah menemui jalan buntu terkait tuntutan Rwanda agar DRC mengadakan dialog langsung dengan pemberontak M23 yang didukung oleh Kigali dan sebagian besar etnis Tutsi, yang telah merebut sebagian besar wilayah timur DRC sejak tahun 2021.
“Ada kebuntuan karena Rwanda telah menetapkan prasyarat untuk penandatanganan perjanjian bahwa DRC mengadakan dialog langsung dengan M23,” kata Giscard Kusema, juru bicara kepresidenan Kongo yang hadir di Luanda, kepada kantor berita AFP.
Menteri Luar Negeri Rwanda Olivier Nduhungirehe pada hari Jumat mengatakan negaranya menginginkan “komitmen yang kuat dari DRC untuk melanjutkan pembicaraan langsung dengan M23 dalam kerangka kerja dan kerangka waktu yang jelas.”
Namun, pemerintah Kongo mengatakan bahwa M23 hanya ada karena dukungan militer Rwanda. “Jika Kigali beritikad baik dalam negosiasi dan memenuhi janjinya untuk menarik ... pasukannya dari tanah Kongo, konflik akan berakhir dengan M23, dan pada saat yang sama konflik juga akan berakhir dengan Rwanda,” ujar sumber pemerintah Kongo.
Gencatan Senjata yang Rapuh
Kagame dan Tshisekedi terakhir kali bertemu pada bulan Oktober di Paris namun tidak berbicara, meskipun mereka tetap mempertahankan dialog melalui mediasi Luanda. Pada awal Agustus, Angola memediasi gencatan senjata rapuh yang menstabilkan situasi di garis depan, tetapi kedua belah pihak terus saling tembak dan bentrokan semakin meningkat sejak akhir Oktober.
Sebagai rumah bagi sejumlah kelompok bersenjata yang saling bersaing, Republik Demokratik Kongo yang kaya akan mineral ini telah dilanda kekerasan internal dan lintas batas selama tiga dekade terakhir. “Negara kami terus menghadapi pemberontakan yang terus-menerus, termasuk agresi tentara Rwanda dan teroris M23,” kata Tshisekedi di parlemen pada hari Rabu, dan menyebut para militan dan Rwanda sebagai ”musuh-musuh Republik.”
Ibu Kota Provinsi Kivu Utara DRC, Goma, yang berpenduduk sekitar 1 juta orang dan satu juta lagi yang mengungsi akibat perang, kini hampir dikepung oleh pemberontak M23 dan tentara Rwanda.
Pada awal November, kedua negara tetangga di Afrika Tengah ini meluncurkan sebuah komite untuk memantau pelanggaran gencatan senjata, yang dipimpin oleh Angola dan melibatkan perwakilan dari DRC dan Rwanda.
Kinshasa dan Kigali beberapa minggu kemudian menyetujui sebuah dokumen yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang akan digunakan pasukan Rwanda untuk menarik diri dari wilayah Kongo.
Rancangan sebelumnya tertanggal Agustus mencantumkan pembubaran milisi FDLR, yang dibentuk oleh etnis Hutu dan terlibat dalam genosida Rwanda pada tahun 1994, sebagai prasyarat untuk penarikan pasukan Rwanda.
Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda (FDLR) yang sering digambarkan oleh Kigali sebagai ancaman bagi keamanannya, adalah salah satu dari berbagai milisi yang bertempur bersama tentara Kongo melawan M23.
Draf pada bulan Agustus tersebut ditolak oleh Republik Demokratik Kongo, yang menuntut agar penarikan pasukan dilakukan bersamaan dengan pembubaran FDLR. Dokumen strategis terakhir, yang dibaca oleh kantor berita AFP, merencanakan jangka waktu 90 hari untuk “menyelesaikan netralisasi FDLR dan pencabutan langkah-langkah pertahanan Rwanda”. [my/ab]
Forum