Tahun ini adalah akhir tahun ajaran yang mengecewakan.
Setelah protes mahasiswa terhadap perang di Gaza berakhir konfrontasi dengan polisi, Columbia University di New York membatalkan upacara wisudanya, dan memilih untuk mengadakan acara wisuda yang lebih kecil di masing-masing fakultas di kampus.
“Saya pikir kita semua mengalami masa-masa sulit dalam beberapa minggu terakhir, dan semuanya berakhir seperti ini. Maksud saya, secara garis besar, kami juga kuliah dengan online ketika mulai menjadi mahasiswa baru. Jadi, secara keseluruhan, sangat sulit untuk mengakhirinya dengan cara ini," kata Alexis Ishmael, mahasiswa tingkat akhir di Barnard College, perguruan tinggi yang berafiliasi dengan Columbia University.
Beberapa pihak mengecam Columbia University karena mengambil langkah itu, setelah membersihkan kemah-kemah untuk protes.
“Pihak universitas mengirim banyak email yang ditujukan kepada mahasiswa dan seluruh komunitas universitas, bahwa perkemahan dan setiap tindakan lain yang dilakukan pengunjuk rasa adalah alasan mereka mengancam untuk membatalkan wisuda, dan kemah-kemah itu sudah dibongkar," ujar salah seorang mahasiswa, Oliver McCoy.
Ketika protes pro-Palestina melanda kampus-kampus di Amerika, beberapa universitas bergegas memperbarui kebijakan mereka mengenai kebebasan berpendapat dan protes.
“Saya pikir ini jelas merupakan peringatan bagi universitas-universitas yang mungkin tidak harus menerapkan kebijakan protes seperti yang harus mereka lakukan dalam beberapa bulan terakhir," kata Zach Greenberg, pengacara di Foundation for Individual Rights and Expression atau Yayasan Hak dan Ekspresi Individu.
Pihak administrasi perguruan tinggi AS lainnya telah setuju untuk berunding dengan para mahasiswa.
Itu membuat Universitas Rutgers setuju untuk menambah Pusat Kebudayaan Arab, serta kesepakatan lain, sebagai imbalan atas dibubarkannya protes secara sukarela.
“Ini jelas merupakan isu politik yang sangat panas. Saya pikir mahasiswa hanya ingin didengarkan. Jadi memberi siswa tempat duduk di meja, memungkinkan mereka mengungkapkan pendapat tentang apa yang terjadi, itu adalah ide yang bagus," kata Zach Greenberg.
Banyak mahasiswa menyerukan universitas-universitas melepaskan bisnis Israel yang kepentingannya terkait dengan perang di Gaza. Namun itu bukan tugas yang mudah, kata para ahli.
Mary Papazian adalah wakil presiden eksekutif Asosiasi Dewan Pengurus Universitas dan Kolese.
“Pelepasan dengan Israel menjadi lebih rumit karena cara dana tersebut diinvestasikan. Bahkan seperti yang kita tahu, Apple dan Google memiliki bisnis di Timur Tengah. Saya rasa 90% perusahaan di S&P terlibat dalam suatu jenis bisnis. Jadi bagaimana kita benar-benar memecahkannya?
Namun kekhawatiran mahasiswa juga tidak boleh diabaikan, katanya, dan universitas harus transparan dalam mengambil tindakan.
Protes mahasiswa mungkin mempunyai sejarah panjang di kampus-kampus, namun tampaknya masih ada pelajaran yang bisa dipetik tentang bagaimana menangani demonstrasi dengan cara yang didukung oleh semua pihak. [ps/jm]
Forum